APAKAH dakwah sembunyi-sembunyi itu pertanda kelemahan atau malah ketakutan? Adakah alasan yang kuat tatkala Rasulullah menerapkan syiar Islam secara sirriyyah tersebut? Apakah dakwah pada mulanya benar-benar dilakukan sembunyi-sembunyi dalam makna tidak diketahui publik?
Insyaallah, rentetan pertanyaan terdahulu akan mengantarkan kita kepada suatu hikmah kebenaran, yang menjadi bekal perjuangan hidup bagi segenap kaum muslimin.
Pada tiga tahun pertama, dakwah Islam digerakkan secara metode sirriyyah (sembunyi-sembunyi), nyaris hanya Rasulullah dan istrinya Khadijah saja yang mengetahui siapa-siapa yang telah menjadi muslim. Dengan kecemerlangan akalnya, Khadijah pun dapat menerima dakwah sirriyyah karena memahami betapa efektifnya metode ini untuk membentuk generasi pertama Islam.
Saking sirriyyah jalan dakwah ini, sampai-sampai antarpemeluk Islam generasi pertama ini tidak saling mengetahui keislaman masing-masing. Bahkan di antara mereka terjadi perbedaan pendapat, dengan merasa dirinya yang paling awal masuk Islam. Khadijah pun setia memegang teguh kerahasiaan ini demi menjaga lancarnya dakwah sirriyyah.
Muhammad Amahzun dalam buku Manhaj Dakwah Rasulullah (2006: 153) menceritakan:
Amru ibn Abasah meriwayatkan, aku bertanya kepada Nabi, “Siapa saja yang juga berdakwah bersamamu saat ini?”
“Orang yang merdeka dan seorang hamba sahaya,” jawab Rasulullah.
Ia menambahkan, “Ketika itu, orang beriman yang turut bersama beliau adalah Abu Bakar dan Bilal.”
Maka aku pun berkata, “Sesungguhnya aku pun akan ikut berdakwah bersamamu.”
Namun, Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya kamu tidak akan mampu melakukan hal itu sekarang, tidakkah engkau melihat bagaimana kondisiku dan para pengikutku saat ini? Karena itu pulanglah kembali ke keluargamu dan jika telah kau dengar kabar tentang kuatnya posisi Islam, maka datanglah kembali padaku.”
Bahkan terhadap sesama pemeluk Islam pun Nabi Muhammad menjaga kerahasiaan dengan baik. Beliau hanya mengabarkan keislaman Abu Bakar dan Bilal bin Rabah saja, itupun dengan ungkapan tersirat; satu orang merdeka dan satu lagi budak.
Muhammad Amahzun (2006: 152) menerangkan, bukti bahwa pada awal mulanya dakwah Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi adalah sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Ishaq.
Ia menyebutkan, “Bila para sahabat Rasulullah hendak melakukan shalat, mereka pergi ke celah-celah bukit dan menyembunyikan shalat mereka dari penglihatan kaumnya. Syahdan, ketika Sa’ad bin Abi Waqqash bersama para sahabat Rasulullah lainnya sedang melakukan shalat di celah bukit-bukit Mekah tiba-tiba sekelompok musyrikin melihat mereka sedang shalat. Maka kaum musyrikin itu pun memandang mereka dengan aneh dan mencela apa yang para sahabat kerjakan.”
Upaya menjaga kerahasiaan dakwah sirriyyah benar-benar ketat, sehingga Rasulullah dan para pengikutnya menunaikan shalat dengan pergi menjauh hingga ke celah-celah bukit di luar kota Mekah.
Namun, tidak ada tempat yang benar-benar tersembunyi sehingga adakalanya ibadah mereka dipergoki oleh orang-orang yang kebetulan melintas.
Jadi, dakwah sirriyyah bukannya tidak diketahui masyarakat Mekah sekalipun rahasia ini sudah dijaga dengan hati-hati. Dari awal mulanya mengetahui tapi cuek, kemudian sikap musyrikin Quraisy mulai berubah dengan melakukan cara-cara kekerasan terhadap Nabi Muhammad dan pengikutnya. Dengan begitu dakwah sirriyyah pun dilakukan lebih ketat lagi.
Sebagaimana Muhammad Amahzun (2006: 152) mengungkapkan:
Amru ibn Abasah as-Sulami berkata, “Waktu itu, aku -masih berada dalam kejahiliahanku- mengira orang-orang berada dalam kesesatan. Dan mereka sama sekali tidak memiliki dasar apapun, yakni ketika mereka menyembah berhala-berhala. Kemudian aku mendengar kabar adanya seorang pria di Mekah yang mengabarkan satu berita (Rasulullah). Maka aku pun segera meloncat mengendarai kendaraanku untuk menemuinya. Saat aku menemukannya, Rasulullah tengah bersembunyi dikarenakan terancam dibunuh oleh kaumnya.”
Serapat apapun kebenaran itu ditutup-tutupi, akhirnya tercium juga keberadaannya. Dakwah sirriyyah itu toh ketahuan juga oleh pihak musyrikin Mekah, jadi diperlukan suatu pemaknaan yang utuh guna memahami apa hakikat dakwah sembunyi-sembunyi tersebut.
Dan perkara ini diterangkan dengan menarik oleh Yusuf Qaradhawi pada bukunya Fiqih Jihad (2010: 158), bahwa sebagian orang mengatakan fase ini sebagai dakwah sirriyyah (sembunyi-sembunyi). Pada hakikatnya, hal itu tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi dalam arti tidak diumumkan, tetapi dilakukan dengan dakwah fardiyyah (individual) yang tenang.
Dengan metode ini Rasulullah berhasil menghindari terjadinya gejolak sosial dan dakwah pun berlangsung secara efektif alias tepat sasaran; benar-benar menyasar individu yang berpotensi besar tertarik memeluk Islam dan siap pula berjuang membelanya.
Said Ramadhan Al-Buthy dalam buku Fikih Sirah (2010: 90-91) merumuskannya:
Pada saat itu, dakwah baru dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tujuannya agar kaum Quraisy yang fanatik terhadap kemusyrikan dan ajaran paganisme tidak kaget menerima Islam. Rasulullah tidak pernah berdakwah di tengah forum kaum Quraisy. Seruan dakwah beliau hanya disampaikan kepada orang-orang yang benar-benar memiliki hubungan dekat dengannya.
Inilah kunci dari dakwah sirriyyah yang bukan menitikberatkan pada faktor sembunyi-sembunyi belaka, melainkan memakai langkah efektif dalam pendekatan personal kepada sasaran dakwah.
Rasulullah tidak akan melakukan dakwah sirriyyah terkecuali memang tuntunan Ilahi. Allah Maha Tahu metode apa yang terbaik demi syiarnya agama suci ini.
Lebih lanjut Said Ramadhan Al-Buthy (2010: 92) menguraikan:
Allah mengilhamkan kepada Rasulullah untuk memulai dakwahnya dengan cara sembunyi-sembunyi, hanya kepada orang-orang yang diyakini bisa menerima. Semua itu beliau lakukan tak lain sebagai pelajaran bagi generasi sesudahnya, juga petunjuk bagi mereka tentang pentingnya mengutamakan kehati-hatian dan cara yang baik berdasarkan akal sehat yang dinilai dapat memuluskan jalan demi tercapainya tujuan dakwah.
KOMENTAR ANDA