SA’AD bin Abi Waqqash beserta rekan-rekannya sudah pergi menjauh keluar kota Mekah. Dia menuaikan shalat di celah-celah perbukitan nan lengang. Namun, masih saja dirinya ditemukan oleh beberapa orang musyrikin Quraisy. Mereka mencaci, menghina dan melecehkan ibadah yang dilaksanakan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash.
Puncaknya, bentrokan fisik pun tidak terhindarkan lagi. Sa’ad bin Abi Waqqash menghantam pengeroyoknya dengan tulang hewan. Dan itulah darah yang pertama kali mengucur dalam perjuangan kaum muslimin.
Ath-Thabari pada buku Muhammad di Makkah dan Madinah (2019: 202) mengungkapkan:
Sekelompok kaum musyrikin tiba-tiba muncul di depan mereka yang sedang melaksanakan shalat. Lalu, kaum musyrikin itu menunjukkan perilaku tidak suka dan mengkritik apa yang dilakukan oleh Sa’ad dan yang lainnya. Bahkan, kaum musyrikin itu menyerang mereka hinga terjadi perkelahian.
Hingga akhirnya, Sa’ad bin Abi Waqqash memukul salah seorang dari gerombolan itu dengan tulang rahang unta sampai kepalanya retak. Inilah pertumpahan darah pertama sejak masa Islam.
Insiden itu menyadarkan Rasulullah saw. bahwa diperlukan suatu tempat yang aman agar tidak lagi terjadi kegaduhan. Memang sih ada pihak yang berpendapat insiden Sa’ad bin Abi Waqqash menjadi pemicu terbentuknya madrasah di rumah Al-Arqam yang populer dengan sebutan Darul Arqam.
Namun, bagi kalangan yang tidak sepakat dengan motif ini juga tak ada masalah. Sebab, sejatinya kehadiran Darul Arqam telah melalui pemikiran mendalam Rasululah saw. yang dengan brilian merancang strategi dakwah yang tidak terduga.
Dan alasan yang paling utama adalah dibutuhkannya tempat mentarbiyah para As-Asabiquna Al-Awwalun agar menjadi generasi pertama Islam yang tangguh.
Bukannya di rumah sang istri Khadijah, yang berada di pusat kota Mekah dan malah berdekatan dengan Ka’bah, tetapi Rasulullah memusatkan dakwah Islam dan pembinaan umatnya justru di rumah Al-Arqam bin Abi Arqam. Kemudian hari populerlah sebutan Darul Arqam, yang menjadi madrasah pertama bagi para pengikut Rasulullah yang masih sedikit jumlahnya.
Rumah Khadijah yang nyaman tidak membuat Nabi Muhammad meliriknya sebagai madrasah Islam.
Menurut beliau pusat gerakan dakwah justru tidak strategis jika berlangsung di kediaman Khadijah.
Rasulullah membuat beberapa pertimbangan rasional sehingga terpilih Darul Arqam yang kemudian hari teramat melegenda.
Al-Arqam bin Abi Arqam relatif masih baru menjadi seorang muslim, sehingga keislaman dirinya pun belum tersiar luas. Sorotan masyarakat jahiliah belum tertuju kepada dirinya. Terlebih Al-Arqam yang masih remaja, usianya berkisar 16 tahun. Siapa yang akan menyangka Rasulullah akan bergaul dengan anak muda?
Sanjungan pun diberikan oleh banyak pihak terhadap Al-Arqam bin Abi Arqam atas kepribadiannya yang utama, yang membuat rumahnya terpilih menjadi pusat dakwah.
Pujian itu pun meluncur dari ahli dari Barat, sebagaimana W. Montgomery Watt dalam bukunya Muhammad Sang Nabi dan Negarawan (2020: 95-96) menjelaskan:
Suatu hal yang pasti, Arqam adalah sosok pemuda yang mampu bertindak dengan ruang kebebasan yang jauh lebih besar dibanding kebanyakan pemuda sebayanya di Mekah.
Kediaman Al-Arqam berada di kawasan bukit Shafa, relatif jauh dan sepi. Tidak banyak orang Quraisy yang akan menjangkau kediaman itu. Sehingga kegiatan keagamaan di rumah Al-Arqam tidak akan begitu mencolok perhatian publik.
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam buku Ar-Rahiq al-Makhtum (2016: 117) menerangkan:
Darul Arqam, rumah ini berada di kaki bukit Shafa, jauh dari pantauan musuh dan strategis sebagai tempat berkumpul. Di rumah ini beliau bisa berkumpul bersama kaum muslimin, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Di situlah beliau membacakan ayat-ayat Allah, memurnikan keyakinan mereka dan mengajarkan kandungan Al-Qur’an dan hikmah sekaligus.
Dengan demkian, diharapkan mereka bisa menjalankan ibadah dan aktivitas dengan leluasa, bisa menerima wahyu-wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah dengan tenang, dan membuka kesempatan bagi mereka yang ingin masuk Islam, tanpa diketahui oleh pihak lawan yang gemar menyiksa itu.
Tidak diragukan lagi, andaikata Rasulullah berkumpul dengan kaum muslimin secara terang-terangan, pasti orang-orang musyrik berusaha menghalangi dengan kasar. Mereka dikuasai amarah untuk mencegah beliau menyucikan keyakinan mereka dan mengajari mereka Al-Qur’an dan hikmah.
Lagi pula para pengikut Rasulullah yang baru saja memeluk Islam itu telah puluhan tahun berkelindan dalam tradisi jahiliah. Oleh sebab itu, mereka membutuhkan madrasah keislaman yang akan memurnikan diri segala macam yang berhubungan dengan kemusyrikan untuk berganti dengan tauhid.
Faktor membentuk militansi juga lebih memungkinkan berlangsung di Darul Arqam. Karena di madrasah pertama Islam itulah mereka mendapatkan tempaan langsung dari Rasulullah. Bahkan di setiap kali wahyu Ilahi turun, mereka adalah deretan manusia pertama yang mengetahui, mempelajari dan mengamalkannya.
W. Montgomery Watt (2020: 95-96) menjelaskan pula:
Pada 64 M. saat Muhammad memanfaatkan rumah Arqam sebagai pusat dakwahnya. Saat itu, Muhammad diriwayatkan mempunyai 39 orang pengikut. Ia tidak untuk menginap di rumah itu, tetapi hanya untuk berdakwah sepanjang hari.
Para pengikutnya menemuinya di sana, dan diajari tentang Al-Qur’an, atau ajaran-ajaran lain. Secara berjamaah, kaum muslim melakuan ritual shalat mereka yang unik, yang berpuncak pada gerakan sujud, menyentuh tanah dengan dahi sebagai pengakuan atas kekuasaan dan keagungan Allah. Di rumah ini juga, mungkin berdatangan para penanya ke Muhammad, mengadukan kesulitan hidup mereka dan semua keluh kesah penduduk Mekah.
KOMENTAR ANDA