SIKSAAN terhadap Rasulullah saw. dan kaum muslimin seperti menunggu detik-detiknya saja. Tabiat kasar masyarakat jahiliah yang menjadi pangkal kekejaman itu terus menimpa generasi pertama Islam.
Orang terhormat seperti Abu Bakar pun tidak luput dari penyiksaan, dan dapat dibayangkan bagaimana kemalangan yang menimpa kaum muslimin dari kalangan bawah atau budak belian.
Ngerinya siksaan yang menimpanya, sampai-sampai orang-orang mengira Abu Bakar telah wafat. Para penyiksa tidak akan menyangka kalau siksaan itu malah berujung keberkahan.
Ahmad Khalil Jam’ah dalam buku 70 Tokoh Wanita dalam Kehidupan Rasulullah (2019: 227-228) menceritakan:
Abu Bakar didekati dan dipukul oleh Utbah bin Rabiah dengan dua sandal yang ditumpuk. Dengan kedua sandalnya, ia membuat perubahan di wajah Abu Bakar hingga memberikan bekas berupa bengkak di wajah. Sampai-sampai orang yang melihatnya sulit menentukan letak hidungnya.
Keluarga Abu Bakar amat terpukul melihat derita yang dialaminya. Namun, yang mengejutkan bukanlah cara penyiksaan itu, melainkan reaksi Abu Bakar tatkala sadar dari pingsan.
Salih Suruc dalam bukunya Best Stories of Abu Bakar Shiddiq (2015: 73-75) menerangkan:
Abu Bakar kembali siuman. Ketika mulai membuka matanya, ia bertanya, “Apa yang sedang dilakukan Rasulullah? Bagaimana keadaan beliau? Apakah mereka telah mengolok-olok dan menghinanya?”
Kerabatnya merasa heran karena Abu Bakar tidak mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri. Saat itu, ibunya, Ummul Khair belum beriman. Tidak mudah baginya untuk pergi mencari tahu kabar Rasulullah saw.
“Anakku, aku tidak dapat memberimu kabar tentang sahabatmu. Namun, saat ini engkau harus mengisi perutmu dengan makanan dan minuman,” bujuk Ummul Khair.
Alih-alihkan memulihkan kondisinya yang tengah babak-belur, Abu Bakar malah mengkhawatirkan sahabat sejatinya, yakni Nabi Muhammad saw. Tidak dipedulikannya luka-luka yang merajam tubuh, sampai mendapatkan kepastian tentang keselamatan Rasulullah.
Suapan makanan yang disodorkan ibunya tidak menggugah selera Abu Bakar. Ummul Khair yang belum menganut agama Islam takjub melihat ikatan cinta yang terjalin erat antara putranya dengan Nabi Muhammad.
Sebagai seorang ibu yang berlimpah cinta maka Ummul Khair dapat memahami apa yang patut dilakukan demi segera memulihkan kondisi putranya. Ummul Khair artinya ibu yang baik. Selaras dengan makna namanya yang begitu indah, akhirnya Ummul Khair luluh juga dengan permohonan Abu Bakar.
Salih Suruc (2015: 75-77) menerangkan:
“Aku memohon kepadamu, wahai Ibuku, pergilah engkau menemui Ummu Jamil. Tanyakan kepadanya bagaimana keadaan Rasulullah saat ini?”
Ketika hari telah gelap dan keadaan di luar rumah telah sunyi, Abu Bakar berjalan dipapah oleh Ummul Khair dan Ummu Jamil menuju Darul Arqam.
Pada ahirnya ia dapat bertemu dengan Rasulullah saw. dan keduanya pun berpelukan erat seolah mereka telah terpisah bertahun-tahun lamanya. Saat itu Abu Bakar mencium wajah dan mata Rasulullah saw. Beliau pun sedih ketika melihat kondisi tubuhnya penuh luka. Kaum musilimin yang berada di sana pun merasakan sakit yang sama ketika melihatnya.
Ini bukan sekadar acara temu kangen belaka, sebab Abu Bakar menjadikannya sebagai momentum terbaik untuk ibunya. Abu Bakar memohonkan sebait doa kepada Rasulullah. Bukanlah doa agar kesehatannya segera pulih, bukan pula doa supaya dirinya selamat dari siksaan musyrikin Quraisy, melainkan selarik doa terbaik buat ibundanya.
Salih Suruc (2015: 75-77) menerangkan:
“Wahai Rasulullah, ini adalah ibundaku. Ia adalah orang yang sangat mengasihi anak-anaknya. Sesungguhnya engkau memiliki tempat khusus di hadapan Allah. Doamu pun pasti terkabul. Bisakah engkau mengajaknya kepada Islam dan mendoakannya agar ia beriman. Aku berharap ia terselamatkan dari api neraka karenamu.”
Lalu Rasulullah saw. mengangkat tangannya dan berdoa. Setelah itu beliau mengajak Ummul Khair untuk beriman. Ketika keinginan yang ikhlas dan doa yang berasal dari lubuk hati bersatu, maka Allah Ta'ala pun mengabulkan doa itu. Ummul Khair pun bertemu dengan ketenteraman iman di sana.
Rasulullah saw. dapat melihat dengan jelas ikatan cinta yang teramat kuat antara ibu dan anak. Kendati belum menjadi seorang muslimah, Ummul Khair bersedia memenuhi permintaan anaknya; mencari tahu keberadaan Rasulullah lalu memapah putranya menuju Darul Arqam.
Sayangnya, cinta yang demikian mendalam terhalang jurang yang curam; di antara keimanan dan kemusyrikan. Betapa malangnya kisah cinta ibu dan anak jika terpisahkan di akhirat, di antara surga dan neraka.
Alangkah indahnya untaian kata yang disampaikan Abu Bakar, seseorang yang tubuhnya babak belur masih mampu merangkai ucapan memukau, “Ini adalah ibundaku. Ia adalah orang yang sangat mengasihi anak-anaknya.”
Kalimat ini menyasar sanubari berbagai pihak; hati Rasulullah yang kemudian berkenan mendoakan dan hati ibunda yang bersedia menerima cahaya hidayah.
KOMENTAR ANDA