Memang tidak ada yang perlu disesali Abu Bakar atas penyiksaan yang dialaminya, karena berujung dengan keislaman sang ibunda, yang merupakan keberkahan tiada ternilai berkahnya.
Kesedihan yang melanda Rasulullah melihat sahabat terbaiknya babak belur dihajar para begundal musyrikin jadi terobati berkat ketabahan Abu Bakar. Kesedihan bersalin rupa dengan kebahagiaan tatkala momen itu malah berakhir dengan keislaman sang ibunda.
Nabi Muhammad tentunya amat menghargai keislaman seorang wanita tua, sebab Ummul Khair sudah melihat sendiri putranya yang nyaris menemui ajal demi mempertahankan keimanan. Itu artinya wanita tua itu memahami risiko besar juga mengincar dirinya ketika memutuskan menjadi pengikut Nabi Muhammad.
Percayalah, sekeping kisah ini tak lain hanyalah episode cinta yang sesungguhnya; cinta seorang muslim kepada nabi, cinta antara ibu dan anak, cinta terhadap kebenaran. Dan puncak semua cinta itu adalah mahabbatullah atau cinta Ilahi.
Demikianlah sejarah nabawiyah itu diukir atas nama cinta, di mana Nabi Muhammad mampu merangkum berbagai jenis cinta untuk disatupadukan dalam bingkai keimanan.
Begitulah Rasulullah menyampaikan syiar Islam dengan agenda cinta, meski beliau pun tidak luput dari penghinaan dan siksaan, tetapi beliau tidak membalasnya dengan kebencian melainkan sepenuh cinta.
KOMENTAR ANDA