DULU sekali sih kejadiannya yang cukup menggemparkan, tentang seorang mualaf wanita yang bertindak sebagai imam shalat berjamaah. Dan yang mengejutkan, di antara makmumnya adalah kaum laki-laki, sesuatu yang bertentangan dengan apa yang ditetapkan agama Islam.
Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam buku Fikih Wanita Empat Mazhab (2017: 124) menerangkan:
Tidak diperkenankan bagi wanita untuk mengimami laki-laki dalam shalat. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad saw., “Janganlah sekali-kali seorang wanita mengimami laki-laki.”
Alasan lainnya, karena wanita dilarang mengumandangkan (mengeraskan suara) di hadapan laki-laki lantaran dikhawatirkan akan timbul fitnah dari suaranya yang merdu; oleh karenanya, tidak boleh baginya untuk mengimami jamaah laki-laki.
Tentulah ada banyak hikmah di balik larangan wanita menjadi imam shalat lelaki; larangan bukan bertujuan mengekang melainkan demi nilai-nilai kebaikan dan kebajikan.
Imam Asy-Syafi’i dalam kitab Al-Umm #2: Kitab Induk Fiqih Islam (2016: 28) menjelaskan:
Wanita tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki selama-lamanya. Demikian pula apabila di antara mereka bermakmum kepada imam wanita adalah seorang khuntsa musykil (manusia berkelamin ganda), maka shalat khuntsa itu tidak sah karena bermakmum kepada seorang wanita.
Selain ucapan berupa larangan tegas dalam hadisnya, pada praktik keseharian pun tidak ditemukan di masa Rasulullah hidup adanya perempuan yang menjadi imam shalat bagi laki-laki.
Sekiranya perempuan menjadi imam shalat jamaah laki-laki itu memang diperbolehkan, tentulah Nabi Muhammad sudah mendorong muslimah di zamannya untuk meraihnya. Namun, dalam kenyataannya tidak ditemukan fakta muslimah pernah menjadi imam shalat kaum lelaki.
Tampaknya, muslimah yang tiba-tiba maju sebagai imam shalat lelaki ini terlalu bersemangat meyakini Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keadilan gender. Namun, perlu dipahaminya pula keadilan itu tidaklah berarti harus sama di segala lini kehidupan. Lagi pula banyak kok keutamaan yang hanya khusus diperbolehkan bagi perempuan dan terlarang bagi lelaki.
Demi menjaga kemuliaan dirinya, maka muslimah tidak diperbolehkan menjadi imam bagi jamaah laki-laki. Banyak hikmah yang dapat dipetik dari larangan ini, seperti keindahan yang dimiliki perempuan yang rentan bagi kekhusyukan pelaksanaan shalat berjamaah.
Namun, larangan menjadi imam shalat itu tidaklah mutlak, sebab sejatinya perempuan berhak menjadi imam shalat berjamaah dari para makmum perempuan juga.
Abu Malik Kamal Salim dalam buku Panduan Beribadah Khusus Wanita Menjalankan Ibadah (2007: 171) menguraikan:
Tidak adanya keterangan yang melarang seorang wanita mengerjakan shalat bersama wanita lain. Rabthah al-Hanafiyah meriwayatkan, “Aisyah pernah mengimami mereka dalam shalat fardhu dan ia berdiri di antara mereka.” (HR. Abdurrazzaq, Darulquthni dan Baihaqi)
Pensyariatan seorang imam wanita bagi jamaah wanita merupakan ketetapan yang bisa diterima semua pihak, yakni tidak menimbulkan pertentangan, berdasarkan perbuatan sebagian sahabat wanita.
Dengan terbukanya kesempatan muslimah menjadi imam shalat bagi kaum wanita, maka perlu pula diperhatikan sejumlah aturan berikut ini:
Pertama, tentang wanita yang paling berhak jadi imam
Abu Malik Kamal Salim dalam buku Panduan Beribadah Khusus Wanita Menjalankan Ibadah (2007: 172) menjelaskan:
Yang paling berhak menjadi imam di antara mereka adalah yang paling pandai membaca Al-Qur’an. Jika tingkat kepandaian mereka sama, maka yang paling tahu tentang sunnah Nabi saw. lebih berhak.
Jika jamaah wanita tersebut berada di rumah salah seorang dari mereka, pemilik rumahlah yang lebih berhak menjadi imam kecuali jika ia memberi izin kepada yang lain.
Lagi-lagi akhlak yang didahulukan di dalam ajaran Islam, di mana untuk penghormatan makanya tuan rumah diutamakan sebaai imam shalat. Terkecuali dia menyerahkan kepada muslimah lain yang dianggap lebih fasih bacaan shalatnya dan lebih unggul ilmu agamanya.
Kedua, posisi imam wanita
Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam bukunya Fikih Wanita Empat Mazhab (2017: 124-125) menerangkan:
Jelas dibolehkan bagi wanita untuk mengimami jamaah wanita, baik di rumah atau di masjid; sebab tidak ada satu nash pun yang melarang hal itu.
Imam Ibnu Sa’d, Imam Daruquthni, dan imam lainnya mengetengahkan hadis --yang dinilai sahih oleh An-Nawawi-- dari Hujairah bin Hushain, ia berkata, “Ummu Salamah -Ummul Mukminin- mengimami kami dalam shalat Ashar dan beliau mengambil posisi di tengah-tengah saf kami.”
KOMENTAR ANDA