Sementara Imam Hakim telah mengetengahkan hadis dari Aisyah dalam Al-Mustadraknya:
“Bahwasanya Aisyah pernah mengumandangkan azan dan iqamat, lalu mengimami jamaah wanita dengan mengambil posisi di tengah-tengah saf mereka.”
Cara imam wanita mengimami jamaah wanita: jika seorang wanita mengimami jamaah yang semuanya terdiri dari wanita maka tempat berdirinya adalah di tengah-tengah saf mereka; sebab sangat dianjurkan bagi wanita agar terlindung dari pandangan laki-laki, sementara keberadaannya di tengah-tengah saf akan membuatnya lebih terlindung.
Cara yang demikian ini adalah jika makmumnya banyak. Jika makmumnya hanya satu orang wanita, maka berdirinya imam wanita adalah di sebelah kiri makmumnya.
Terlihat di sini aturan posisi imam wanita semata-mata ditegakkan demi kekhusyukan shalat berjamaah.
Ketiga, mengeraskan bacaan shalat.
Merdunya alunan suara perempuan bisa lebih dahsyat daripada daya tarik magnet. Maka muncul pula pertanyaan, apakah imam wanita boleh menjaharkan atau mengeraskan suara dalam bacaan shalatnya?
Syaikh Ahmad Jad pada buku Fikih Sunnah Wanita (2010: 184) menjelaskan:
Apabila shalat tersebut dekat dengan kaum laki-laki, maka bagi wanita yang menjadi imam, mereka tidak mengeraskan bacaannya dalam shalat yang memperbolehkan bacaan keras. Apabila mereka jauh dari kaum lelaki dan suaranya tidak terdengar sampai keluar, maka boleh saja membaca dengan suara keras.
Begitulah hal-hal pokok yang patut diperhatikan bagi muslimah yang hendak menjadi imam shalat berjamaah, dan merupakan adab-adab yang meninggikan derajatnya.
KOMENTAR ANDA