BAGI wanita itu laron hanyalah makhluk menyebalkan. Serangga tersebut akan menggerubuti lampu di rumah; mengganggu pencahayaan. Kemudian mereka menjadi sampah yang meresahkan, laron-laron itu rontok bergeletakan di lantai, dan yang paling repot itu membersihkan sayap-sayap halusnya.
Lain ceritanya ketika wanita tersebut terdampar di sebuah pedesaan, di mana penduduknya malah rebutan laron. Dan kejadian berikutnya membuat warga kota metropolitan itu terpekik, “Lho, kok dimakan sih?”
Dia pun dalam kondisi dilematis ketika penduduk desa menghidangkan masakan peyek laron. Dia tidak enak hati kalau sampai menolak ramah tamahnya warga setempat, toh mereka amat baik selama dirinya bertugas di sana. Akan tetapi, jangankan menyantap laron, melihatnya saja wanita itu sudah mual.
Terdapat perbedaan pendapat ulama tentang hukum mengonsumsi laron; ada yang bilang halal dan juga haram. Kedua kubu punya argmentasi yang sama-sama kuat
Pihak yang meyakini laron halal beralasan:
a. Memang tidak ada dalil Al-Qur’an atau hadis yang menyebut laron haram, tidak ada larangan spesifik. Kalau memang tidak ada larangan jadi mengapa pula sampai diharamkan.
b. Laron merupakan jenis serangga yang disamakan hukumnya dengan belalang, dan dalam salah satu hadis dinyatakan belalang itu halal dimakan.
Muhammad Fuad Abdul Baqi pada kitab Al-Lu'lu' wal Marjan #2 (2011: 398) menerangkan, hadis riwayat Abdullah bin Abu Aufa, ia berkata, “Kami ikut perang bersama Rasulullah saw. sebanyak tujuh peperangan dan kami selalu makan belalang.”
Sementara pihak yang menyebut laron terlarang untuk dikonsumsi juga tegak di atas alasan yang kokoh:
a. Laron dapat digolongkan sebagai sesuatu yang menjijikkan (khabaits) dan suruhan agar menjauhi yang khabaits tercantum dalam dalam kitab suci, surat Al-A’raf ayat 157, yang artinya, “Dia menyuruh mereka pada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, menghalalkan segala yang baik bagi mereka, mengharamkan segala yang buruk (khabaits) bagi mereka.”
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid: Jilid 1 (2010: 823) menguraikan:
Ada ikhtilaf ulama mengenai pengertian dari kata “khabaits”. Ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud “khabaits” dalam ayat ini adalah hal-hal yang diharamkan oleh nash syariat, mereka tidak mengharamkan hal-hal yang menjijikkan tetapi tidak disebut oleh nash. Sementara ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud “khabaits” dalam ayat ini adalah apa-apa yang dianggap buruk oleh jiwa manusia, menyatakan bahwa semua itu haram.
b. Setidaknya laron itu sesuatu yang syubhat, yang hukumnya masih meragukan. Masih banyak kok makanan lain yang sudah jelas kehalalannya mengapa juga mengonsumsi laron.
Mau bagaimana lagi mengingkarinya, karena memang di sejumlah daerah laron sudah biasa dikonsumsi oleh masyarakat secara turun temurun. Mereka enak-enak saja menyantap masakan laron tanpa terganggu rasa jijik sedikit pun.
Bagi para penggemarnya, laron itu gurih sekali setelah digoreng, apalagi jika dibuat peyek. Konon kabarnya pula laron itu mengandung protein yang tinggi pula.
F.G. Winarno dalam buku Serangga Layak Santap: Sumber Baru bagi Pangan dan Pakan (2018: 109) menerangkan:
Laron adalah sejenis serangga yang biasanya akan muncul sehabis hujan. Laron memiliki kebiasaan mengelilingi cahaya. Serangga satu ini kelak bermetamorfosis menjadi rayap. Layaknya belalang, ternyata laron dapat menjadi bahan pangan.
Laron dipercaya memiliki banyak manfaat bagi tubuh manusia, antara lain:
1. Mampu meningkatkan kekebalan tubuh.
2. Bermanfaat meningkatan fungsi otot dan memperbaiki sel otot yang rusak.
3. Mencegah terjadinya rambut rontok.
Pembahasan ini kian menarik jika dikupas pula pendapat LPPOM MUI seperti yang dilansir https://halalmui.org:
Namun, ada pula ulama dan imam mazhab yang menyatakan bahwa laron itu struktur tubuhnya dapat dianalogikan sama dengan belalang. Sehingga dapat dikategorikan halal mengonsumsinya.
Jumhur ulama menyatakan, binatang-binatang yang tidak punya darah mengalir di tubuhnya, “Maa laa daama lahu sailun” maka umumnya dianggap suci. Tapi kalau untuk dimakan, maka terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang berpendapat membolehkannya, dan ada pula yang melarangnya.
Tapi dalam hal ini tetap berlaku kaidah yang bersifat umum. Yakni kalau membahayakan bagi manusia, maka tentu jadi terlarang. Dan dengan demikian hukum mengonsumsinya pun menjadi haram.
Selanjutnya, bagi orang yang awam, boleh saja menerima dan mengikuti pendapat dari para kyai, pimpinan agama dan ulama yang dikenalnya secara perorangan. Dalam hal ini tentu adalah ulama yang terpercaya dan diakui kredibilitasnya.
Terakhir, kalau boleh kita mengingatkan dan menyarankan, makanlah produk atau bahan yang telah jelas kehalalannya. Jangan yang macam-macam, atau neko-neko, yang tidak jelas atau dianggap meragukan status kehalalannya.
Karena makanan yang jelas halal itu masih sangat banyak tersedia di sekitar kita. Mengapa malah menyibukkan diri dengan yang meragukan, atau yang syubhat. Sebab dikhawatirkan, yang syubhat itu akan mengakibatkan orang tergelincir pada yang haram.
Nah, bagaimana dong!
Berhubung ini perkara khilafiyyah (perbedaan pendapat ulama) maka yang elok kita lakukan adalah saling menghormati.
KOMENTAR ANDA