Dengan tegas Rasulullah menolaknya, bukan dalam arti tidak tertarik dengan kaum hawa, tetapi kecintaan beliau terhadap mereka dibuktikan dalam bentuk kasih terhadap ibu, istri dan putrinya. Memang cukup banyak lelaki yang kelemahannya adalah godaan keindahan wanita, tetapi lelaki sejati adalah mereka yang memuliakan perempuan, yang mencintainya bukan merendahkannya.
Penolakan disampaikan dengan lembut dan bijaksana oleh Rasulullah, dikarenakan beliau ingin meyakinkan bahwa harta, takhta dan wanita bukanlah tujuan utama, melainkan keridaan Ilahi yang paling tertinggi.
Sekalipun yang ditawarkan Utbah bin Rabi’ah itu suatu kesalahan, tetapi beliau menolak bukan dengan cara yang salah pula. Nabi Muhammad memberikan penjelasan dengan bijaksana, berdasarkan dalil yang kuat serta menggunakan kelembutan yang menggugah.
Shafiyurrahman al-Mubarakfuri pada buku Sirah Nabawiyah (2020: 72-73) menceritakan:
Lalu beliau berkata, “Wahai Utbah! Sudah selesaikah engkau?”
Dia menjawab, “Ya.”
Beliau berkata, “Nah, sekarang dengarkanlah dariku!”
Dia menjawab, “Ya, akan aku dengar.”
Beliau membacakan firman-Nya, surat Fushilat dari ayat 1-5, yang artinya:
“Hâ mîm [1]. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang [2]. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui [3]. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan [4]. Mereka berkata, ‘Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya.’[5]” Kemudian Rasulullah saw. melanjutkan bacaannya.
Utbah mendengarnya, terpesona, malah diam serta khusyuk mendengarkan sambil bertumpu di atas kedua tangannya yang diletakkan di belakang punggungnya, hingga beliau selesai dan ketika melewati ayat sajadah, beliau bersujud.
Setelah itu, beliau bersabda, “Wahai Abu al-Walid, engkau telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar tadi. Sekarang terserah padamu!”
Utbah bangkit dan menemui orang-orang Quraisy. Melihat kedatangannya, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Sungguh Abu al-Walid telah datang kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan sewaktu dia pergi tadi.”
Dia pun datang dan duduk bersama mereka. Mereka berkata kepadanya, “Apa yang kaubawa, wahai Abu al-Walid?”
“Aku telah mendengar suatu perkataan yang belum pernah sama sekali aku dengar semisalnya. Ia bukanlah syair, bukan sihir, dan bukan pula tenung. Wahai kaum Quraisy! Patuhilah aku, serahkan urusan itu kepadaku, serta biarkanlah orang ini melakukan apa yang dia lakukan. Menjauhlah dari urusannya!”
“Sungguh ucapannya yang telah aku dengar itu akan menjadi berita besar. Jika orang-orang Arab dapat mengalahkannya maka kalian telah terlebih dahulu membereskannya tanpa campur tangan orang lain. Dan jika dia mengalahkan mereka maka kerajaannya adalah kerajaan kalian juga, keagungannya adalah keagungan kalian juga. Maka dengan begitu kalian akan menjadi orang yang paling bahagia.”
Mereka berkata, “Dia telah menyihir engkau dengan lisannya, wahai Abu al-Walid?”
“Ini adalah pendapatku, terserah kalian mau berbuat apa,” jawabnya.
Demikianlah hakikat dakwah yang sebenarnya, yang dengan sepenuh kasih memberikan penyadaran, sehingga memberikan kesan mendalam di lubuk sanubari insan. Utbah bin Rabi’ah akhirnya malah terperangah, tawarannya tidak berpengaruh apapun sebab kenikmatan dalam agama Ilahi jauh melebihi kenikmatan duniawi.
Alih-alih membawakan kabar yang diharap-harapkan oleh para pemuka Quraisy, Utbah malah membenarkan Nabi Muhammad bahkan mengajak mereka mendukung dakwah beliau. Kemarahan tokoh-tokoh Quraisy tidak menggoyahkan pendirian Utbah yang meyakini kebenaran agama Nabi Muhammad.
Setelah bujuk rayu harta, takhta dan wanita gagal total, pihak musyrikin belum menyerah untuk menggoyahkan dakwah Rasulullah. Mereka pun membuka opsi negosiasi lainnya demi menghentikan syiar Islam.
KOMENTAR ANDA