Berdasarkan pengamatan di beberapa industri, umumnya dipakai cara biotransformasi menggunakan mikroorganisme, yang diperbanyak dalam suatu media pertumbuhan. Media pertumbuhan memerlukan sumber karbon, sumber nitrogen, dan bahan-bahan lain yang harus diperiksa status kehalalannya.
Vitamin C sangat mudah teroksidasi sehingga pihak industri menggunakan matriks pelindung atau biasa dikenal dengan istilah coating agent, seperti gelatin. Gelatin diperoleh melalui hidrolisis parsial kolagen yang berasal dari kulit dan/atau tulang hewan dengan pereaksi asam atau basa.
Jenis hewan dan cara penyembelihan hewan perlu mendapatkan perhatian, agar dapat dipastikan status kehalalannya.
Sesuai dengan namanya, citarasa asam vitamin C yang asam dapat ditutupi dengan menambahkan perisa atau pemanis tertentu, agar penerimaan konsumen menjadi baik. Umumnya industri menggunakan perisa sintetik yang dibuat dari berbagai senyawa kimia, dan dalam proses pengolahannya digunakan pelarut tertentu. Dengan demikian status kehalalan perisa yang digunakan harus dapat ditunjukkan dengan sertifikat halal.
Penambahan pemanis dalam pembuatan vitamin bertujuan untuk mengurangi rasa asam. Pemanis yang ditambahkan dapat berupa gula atau pemanis buatan (seperti aspartam).
Dalam proses pembuatan gula dilakukan pemurnian menggunakan aktif karbon. Status kehalalan aktif karbon harus jelas, sama halnya dengan pemanis aspartam. Sumber asam amino yang digunakan, yaitu asam amino fenilalanin dan aspartat harus jelas status kehalalannya.
Dari paparan di atas diketahui betapa banyak titik kritis pada vitamin, yang membutuhkan daya kritis konsumen muslim dalam mengonsumsinya. Sejatinya banyak sekali jenis vitamin yang beredar bebas, sehingga kita dapat menjatuhkan pilihan kepada yang bikin hati nyaman.
Paradigma pikir kebanyakan orang langsung positif begitu mendengar kata vitamin, yang menunjang vitalitas, yang mendukung kesehatan. Namun, prasangka positif itu hendaknya dibarengi dengan upaya bersungguh-sungguh dalam memastikan kehalalannya.
KOMENTAR ANDA