Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net
KOMENTAR

LISAN mulia Nabi Muhammad Saw yang menuturkan secara langsung tentang seorang perempuan perias rambut, yang bertugas menyisir putri Fir’aun. Posisi rendahan tidak membuat nyalinya ciut mempertahankan keimanan, siksaan raja zalim tidak membuat imannya luntur.

Rasulullah memperoleh kisahnya langsung dari Malaikat Jibril pada malam Isra Mi’raj. Tentulah dia itu perempuan agung yang tidak boleh luput dari penggalian nilai-nilai keteladanan.

Imam Ibnu Katsir dalam buku Kisah Para Nabi (2011: 746) mengungkapkan: Dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, dari Ubay bin Kaab, dari Nabi Saw, bahwasanya ketika beliau melakukan perjalanan Isra Mi’raj, beliau mencium aroma yang sangat harum.

Lalu beliau bertanya kepada Malaikat Jibril, “Wahai Jibril, aroma apakah yang sangat harum ini?”

Malaikat Jibril menjawab, “Itu adalah aroma dari pusara Masyithah, kedua anaknya, dan juga suaminya.”

Betapa menakjubkan, bila yang menceritakan sosoknya bukan lisan manusia biasa, melainkan malaikat yang mengungkapkan keutamaan Masyithah. Dia hidup di suatu masa ketika rajanya mengukuhkan diri sebagai Tuhan, yang memaksa rakyat menyembah dirinya.

Berikut ini adalah penuturan Jibril kepada Nabi Muhammad pada malam Isra Mi’raj tentang kisah Masyithah. Abdul Mun’im al-Hasyimi dalam buku Sirah Nabawiyah For Kids Muhammad Sang Teladan (2015: 111) menceritakan:

Suatu hari ketika dia menyisir rambut putri Fir’aun, tiba-tiba sisirnya terjatuh. Dia mengambilnya dengan membaca bismillah. Putri Fir’aun berkata, “Siapa Allah Swt. Yang engkau sebut tadi? Apakah ayahku?”

Masyithah berkata, “Bukan, Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu begitu juga Tuhan ayahmu.”

Putri Fir’aun berkata, “Kalau begitu, kamu punya Tuhan selain ayahku?”

Wanita tukang sisir itu berkata, “Ya.”

Putri Fir’aun melaporkan kepada ayahnya dan Fir’aun kemudian memanggil Masyithah. Fir’aun berkata, “Hai Masyithah, apakah kamu mempunyai Tuhan selain aku?”

Masyithah menjawab, “Ya, Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah Swt.”

Tidak ada pentingnya Masyithah bagi Fir’aun, toh dia bisa memiliki perias rambut putrinya sebanyak yang diinginkannya. Namun, apa yang dilakukan Masyithah membahayakan kampanye Fir’aun yang mengukuhkan dirinya sebagai Tuhan.

Murkanya Fir’aun, sehingga itu memerintahkan para prajurit menyiapkan kuali raksasa yang airnya mendidih. Anak Masyithah pun terlebih dulu dilempar ke kuali, direbus hidup-hidup. Siksaan keji itu sengaja dilakukan untuk meruntuhkan keimanan Masyithah.

Imam Ibnul Jauzi dalam bukunya 500 Kisah Orang Saleh Penuh Hikmah (2017: 553) juga menceritakan: Kemudian, Fir’aun berkata kepada Masyithah, “Apakah engkau sudah mau bertaubat?”

“Tidak!” jawabnya.

Fir’aun kembali menginstruksikan agar anak Masyithah yang lain dilemparkan lagi ke dalam kuali mendidih tersebut, namun Masyithah tetap teguh pada keimanannya.

Kemudian, Fir’aun kembali berkata kepadanya, “Apakah engkau sudah mau bertaubat?”

“Tidak,” jawab Masyithah.

Takjublah orang-orang menyaksikan parade keimanan nan tangguh dari Masyithah. Suaminya, anak-anaknya, sudah lebih dulu mendapat siksaan dan wafat, namun Masyithah tidak mau mengganti keimanannya dengan kemusyrikan.

Sempat Masyithah tertegun, terbersit sedikit keraguan pada dirinya, ketika yang akan direbus hidup-hidup itu bayinya nan mungil. Walau bagaimanapun, Masyithah adalah ibu yang berhati lembut. Atas izin Allah Swt, bayi itu berbicara, menguatkan iman ibunya.

Abdurrahman Umairah dalam buku Wanita-Wanita dalam Al-Qur’an (2020: 281) pun bercerita: Masyithah menjawab, “Tuhanku Allah, Tuhanku Allah yang Maha Esa, yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.”

Saat mengatakan itu, Masyithah tahu dan sadar bahwa anaknya yang tersisa hanyalah satu orang yang masih bayi. Sang anak yang masih bayi tersebut berkata, “Bersabarlah wahai ibuku, engkau dalam kebenaran.”




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Artikel Tadabbur