KEPUTUSAN berat diambil oleh Maryam, yang memilih pergi meninggalkan tempat yang teramat dicintainya, yakni Baitul Maqdis. Tidak ada yang menemani kepergiannya, hanya sepi sunyi membersamai langkah tertatih perempuan suci itu.
Jauh sekali jarak yang ditempuhnya supaya benar-benar aman untuk janin yang hendak hadir di dunia. Kandungannya yang terus membesar, hanya menambah cercaan dan makian dari masyarakat. Maryam tidak mau rumah suci Tuhan menjadi sasaran perlakuan tidak hormat dari orang-orang yang disesaki prasangka.
Dia pergi dengan perut membesar, dengan keyakinan inilah pilihan terbaik yang mesti dijalaninya.
Surat Maryam ayat 22, Allah berfirman: “Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh.”
Langkah kaki membuat Maryam kian menjauh dari perkampungan, hingga dirinya benar-benar sendiri di tempat sepi. Dia pun terduduk di bawah pohon kurma, tatkala deraan sakit menjelang persalinan kian menghebat rasanya.
Sayyid Qutb pada Tafsir Fi Zhilalil Qur`an Jilid 7 (2008: 363) menerangkan: Setelah itu ia dihadapkan dengan ujian (rasa sakit) fisik di samping ujian mental. Ia menghadapi sakitnya melahirkan yang “memaksanya” (bersandar) pada pangkal pohon kurma dan mendesaknya segera untuk menyandarkan diri padanya.
Saat itu Maryam dalam keadaan seorang diri. Penggambaran tentang kebingungan seorang perempuan yang belum pernah melahirkan, begitu jelas terlihat. Tidak tahu apa-apa dan tidak seorang pun yang menolongnya.
Kita bisa membayangkan bagaimana raut mukanya, ikut merasakan kepanikan dalam pikirannya, dan menyelami posisi-posisi rasa sakitnya. Maryam berangan-angan. andai saja ia “menjadi sesuatu yang tidak berarti.” Kemudian ia membuang jauh-jauh rasa sakit itu dan melupakannya.
Dengan gagah berani, perempuan suci melahirkan tanpa bantuan siapapun. Dirinya menghadan rasa sakit tak terperikan dengan berpancang pada keyakinan menuntaskan amanah Ilahi. Bayi mulia itu pun lahir berkat keteguhan hati ibunda.
Maryam tidak benar-benar sendirian, karena ada Allah Swt yang menyertai perjuangannya. Malaikat Jibril pun diutus untuk menyampaikan keajaiban berikutnya.
Pohon kurma itu melimpahinya dengan buah-buahan terbaik, dan anak sungai pun mengalir di kakinya.
Dalam surat Maryam ayat 24, Allah berfirman: “Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.”
Berhubungan dengan ayat ini, Sayyid Qutb (2008: 364) menafsirkan: Janganlah kamu (Maryam) bersedih hati, Rabbmu tidak akan melupakan dan meninggalkanmu. Bahkan, Dialah yang akan mengalirkan muara air bagimu dari bawah kakimu. Goyanglah pangkal pohon kurma tempatmu bersandar, sehingga menjatuhkan buahnya yang masak kepadamu. Itu makanan dan di sebelahnya minuman. Makanan manis sangat cocok untuk para wanita yang sedang menjalani nifas (persalinan).
Dengan cepat kondisi Maryam pulih kembali, tenaganya hadir lagi secara lebih bergelora. Makanan dan minuman ajaib dari Tuhan bukan hanya membuat tubuhnya bugar, tetapi juga menjadikan semangat juangnya berkobar-kobar.
Mental Maryam semakin kokoh dan bertekad melanjutkan langkah juang berikutnya. Bayi yang diberi nama Isa, dipeluknya dalam dekapan cinta.
Kaki Maryam kembali melangkah, kali ini menuju perkampungan. Bukannya melarikan diri dari kenyataan, Maryam malah hendak menunjukkan putra tercintanya kepada publik secara terang-terangan. Lagipula, dirinya tidak melakukan perbuatan maksiat, jadi tidak ada gunanya pula menyembunyikan kebenaran.
Setibanya di perkampungan, gemparlah masyarakat menyaksikan seorang gadis suci menggendong bayi di luar pernikahan.
Firman Allah dalam surat Maryam ayat 27: “Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata, ‘Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar.”
Maryam ayat 28: “Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina.”
Kemarahan masyarakat meledak, bagaimana bisa perempuan tidak bersuami berani memamerkan bayinya secara terbuka? Mereka pun menghinanya dengan perkataan yang menusuk. Orang-orang mengingatkan dirinya yang telah menodai nama baik keluarga.
Caci maki itu tidak membuatnya gentar. Maryam tidak akan menyembunyikan kebenaran dari masyarakat. Lagi pula, kelak putranya akan menjadi seorang nabi, yang tentunya akan berhadapan langsung dengan umat.
Sayyid Qutb (2008: 364) menjelaskan: Apa komentar yang kita katakan terhadap keajaiban dan kemarahan yang menyerang mereka, sementara mereka melihatnya hanya seorang perempuan yang menyuruh mereka berhadapan dengan anak bayi? Kemudian Maryam membanggakan dirinya dan menolak siapa saja yang mengingkari perbuatannya. Lalu, ia diam dan mengisyaratkan mereka kepada bayinya agar menanyakan tentang rahasianya!
Begitu hebatnya rasa percaya diri Maryam. Jangankan mundur, dirinya malah terus maju mengutarakan kebenaran. Dia hanya diam menampung caci maki yang datang bagaikan air bah.
Namun, kebenaran itu mestilah disingkap. Maryam pun memberikan isyarat supaya mereka meminta penjelasan langsung kepada si bayi.
KOMENTAR ANDA