Orang-orang pun naik pitam. Bagaimana bisa seorang bayi berbicara, bukankah
dia hanya bisa menangis? Maryam tidak surut sedikitpun, dia tetap memberikan isyarat kepada anaknya.
Surat Maryam ayat 29, Allah berfirman: “Maka, Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, ‘Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?”
Imam Ibnu Katsir dalam buku Kisah Para Nabi (2011: 962) mengungkapkan: Ketika keadaan sudah semakin sulit, Maryam sudah semakin terpojok dengan tudingan-tudingan mereka. Ia sudah tidak dapat berkata apa-apa lagi, hanya dapat bertawakal dan berserah diri kepada Alalh. “Maka dia (Maryam) menunjuk kepada (anak)nya.” Yakni, Maryam mengisyaratkan kepada mereka untuk berbicara dan bertanya langsung kepada bayi yang digendongnya, karena ia sudah tidak sanggup menjawab atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Bayi itulah yang akan menjawabnya langsung.
Tindakan Maryam tidak masuk akal bagi nalar biasa, tetapi Maryam dan juga putranya memang bukan manusia biasa melainkan pilihan Tuhan untuk menyibak banyak hikmah kehidupan.
Mereka pun terperanjat, karena bayi mungil Maryam akhirnya berbicara. Dia mengeluarkan kalimat kebenaran yang membungkam berbagai keraguan.
Surat Maryam ayat 30, yang artinya: “Berkata Isa, ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah. Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi.”
Akhirnya, pembelaan seorang bayi mengembalikan marwah Maryam sebagai perempuan suci, yang terbaik pula di zamannya. Kebenaran yang dipikulnya memang melalui jalan terjal nan berlika-liku.
Akan tetapi, keyakinan terhadap Ilahi tidak membuat segala cobaan itu mematahkan tonggak-tonggak keimanan. Patutlah Al-Qur’an mencantumkan kisah panjang kehidupan Maryam, dan sebuah surat yang mengabadikan nama dirinya.
Maryam memang pantas mendapatkan penghormatan atas ketangguhan dirinya meyakini kebenaran. Dia punya prinsip hidup yang kuat, dan kesucian diri dipeliharanya bersama cahaya iman.
KOMENTAR ANDA