ENTAH bagaimana, istilah “saweran” saat ini identik dengan panggung dangdut dan biduanita yang (maaf) berpakaian terbuka. Padahal kita tahu saweran sebenarnya berakar dari tradisi masyarakat Sunda.
Sawer atau nyawer berasal dari “awer” yang artinya air jatuh menciprat (memercik ke mana-mana). Sawer juga diartikan sebagai “taweuran” yang artinya pekerjaan dilakukan di dalam panyaweran atau cucuran atap.
Berdasarkan pengertian tersebut, pelaksanaan sawer dilakukan oleh juru sawer. Sang juru sawer menciprat-cipratkan atau menaburkan perlengkapan benda-benda sawer ke arah pengantin dan ke arah orang-orang (hadirin) yang berada di tempat saweran.
Dalam saweran, terdapat berbagai benda yang dicipratkan yaitu beras, sirih, kunyit, bunga-bungaan, juga uang logam dan uang kertas serta permen. Beras melambangkan kebahagiaan, uang melambangkan kemuliaan, sementara permen melambangkan keharmonisan.
Menjadi bagian dari tradisi turun-temurun masyarakat Tanah Pasundan, saweran sejatinya adalah bentuk permohonan kepada leluhur untuk sepasang pengantin yang baru memasuki mahligai rumah tangga.
Seiring perkembangan zaman yang kian modern, para penyelenggara pernikahan tradisional berusaha keras mempertahankan tradisi saweran agar lestari hingga generasi masa depan.
Bukan sekadar menghamburkan uang, makna saweran pada hakikatnya adalah harapan agar pengantin yang baru selesai melangsungkan akad nikah dapat hidup rukun, sakinah mawaddah wa rahmah, juga bertabur rezeki dari Yang Mahakuasa.
Ngebuyu di Lampung Selatan
Y. Puspo Asriningrum (Universitas Lampung) dalam skripsinya menulis tentang tradisi masyarakat Ulun Lampung Sai Batin di Kabupaten Lampung Selatan yang dikenal dengan istilah “Ngebuyu” (Kabuyon, Diduayon) alias saweran, yaitu satu upacara yang dilakukan menyambut kelahiran seorang anak. Diketahui Ngebuyu masih dilaksanakan oleh masyarakat di Kecamatan Rajabasa dan Kecamatan Way Urang.
Ngebuyu dilaksanakan paling lambat 9-10 hari setelah bayi dilahirkan. Sebelum Ngebuyu dilaksanakan, bayi tidak boleh keluar rumah selama 9 hari dan setelah 9 hari barulah dibawa mandi ke sungai.
Masyarakat di sana menjadikan Ngebuyu sebagai syarat wajib sebelum menggelar aqiqah (kurban hewan sesuai syariat Islam sebagai tanda syukur kelahiran seorang anak).
Ngebuyu adalah upacara singkat yang melibatkan beras kuning, kemiri, juga uang (logam dan kertas) yang dimasukkan dalam sebuah baskom. Ada pula batang kayu atau bambu yang dilapisi kertas hias (umumnya berwarna merah dan putih) lalu ditempel permen hingga ke ujungnya seperti sebuah pohon. Lalu di puncaknya diletakkan foto si anak yang baru lahir.
Beras kuning melambangkan saling tolong-menolong dan menghargai makhluk Tuhan lain sebagai bakti kita terhadap bumi, kemiri menjauhkan bayi yang baru lahir dari pengaruh buruk makhluk halus, uang menjadi media untuk mempertemukan keluarga dan kerabat, sedangkan permen melambangkan rasa saling percaya.
Tak hanya menjadi saksi dari pelaksanaan Ngebuyu, para tetangga dan tamu juga bagian dari falsafah yang dipegang teguh masyarakat Lampung hingga saat ini yaitu sakai sambayan. Kebiasaan saling bergotong-royong, tolong-menolong, juga memperkuat tali silaturahmi—terutama di antara tetangga dan kerabat.
Bablas dan hilang makna
Kembali lagi pada kalimat pembuka artikel ini, bahwa istilah “saweran” rasanya telah ‘berbelok’ dari adat-istiadat Sunda maupun tradisi masyarakat Lampung.
Yang makin populer justru saweran saat pentas dangdut. Demikian pula barang-barang saweran yang penuh makna, telah mengerucut pada uang (logam dan kertas).
Yang menyedihkan adalah para penyanyi (perempuan) berlomba-lomba mengenakan pakaian minim agar uang saweran semakin banyak. Mereka bahkan menghapus rasa risih dan malu saat tangan-tangan nakal menyawer uang ke beberapa bagian tubuh yang terbilang sensitif.
Lagi-lagi, semua itu dilakukan atas dalih mengais rezeki. Seolah-olah rezeki tak bisa didapatkan dari jalan lain yang lebih bermartabat.
Lalu kini, tradisi saweran dalam adat Sunda bukan hanya terancam kehilangan makna melainkan juga telah kebablasan.
Video qariah yang disawer saat membaca Al-Qur’an di acara Maulid Nabi Muhammad di Pandeglang, Banten semakin memancing reaksi publik, tak terkecuali para tokoh agama di Tanah Air.
Mirisnya, yang melakukan saweran adalah orang Islam. Mereka semestinya memahami bahwa tidak pernah tertulis dalam sejarah Islam atau difatwakan ulama mana pun tentang melemparkan uang kepada ustaz atau ustazah yang sedang membaca ayat suci Al-Qur’an.
Apa yang ada di benak mereka?
Dikutip dari artikel bertajuk Antara Tradisi Saweran dan Kesucian Al-Qur’an, Adakah Opsi Kompromi? yang dimuat Farah.id (7/1/2023), Yoli Hemdi menyebutkan:
KOMENTAR ANDA