TRANSGENDER, selalu diidentikkan dengan kondisi yang tidak baik. Seorang pria yang pada dirinya melekat tingkah laku maupun sifat-sifat menyerupai perempuan. Bahkan, cara berpakaiannya pun mengikuti kebiasaan kaum hawa.
Beberapa hari lalu, muncul suatu pemberitaan, pemimpin pondok pesantren waria Al Fattah Yogyakarta Shintra Ratri, meninggal dunia. Shinta dikenal sebagai pejuang Hak Asasi Manusia dan beliau menjadi pendiri ponpes waria pertama di Indonesia.
Sudah cukup lama ponpes ini berdiri, yaitu pada 2014. Awalnya menempati sebuah rumah kontrakan di daerah Notoyudan, sebelum akhirnya mendirikan bangunan di wilayah Kotagede, Yogyakarta.
Yang cukup menjadi perhatian adalah, kok bisa, ada pesantren waria?
Seperti disebutkan di atas, sebetulnya pesantren tersebut sudah cukup lama berjalan. Si pengelola cenderung kurang berminat mengeksposnya karena memang rentan polemik, dan mungkin saja di dalam pesantren itu sudah banyak dinamikanya.
Seperti para ustadz yang kebingungan saat mengajak salat para waria. Mereka ‘memaksa’ untuk memakai mukena, sementara Islam hanya mengenal jenis kelami laki-laki dan perempuan. Perdebatan sengit pun terjadi dan berujung mereka tidak mau salat.
Di hari berikutnya pun sama, hingga para waria mengenakan mukena saat praktik salat. Tentu saja ini mengundang pro dan kontra, tapi sang ustadz berharap suatu saat mereka akan kembali kepada kodratnya sebagai lelaki tulen.
Segalanya perlu berjalan secara berangsur-angsur. Lebih baik mereka mengenal dulu ajaran Islam, sehingga kelak akan benar-benar istikamah di jalan. Lagi pula, Islam mengenal konsep tadarruj atau berangsur-angsur.
Misalnya, tidak tiba-tiba saja khamar diharamkan, melainkan ada tiga tahapan yang lebih dulu dilalui. Penyebabnya, di masa jahiliyah itu minuman yang memabukkan sudah menjadi kebiasaan masyarakat, termasuk oleh mereka yang sebenarnya sudah memeluk agama Islam.
Zuhairi Misrawi dalam buku Al-Qur’an Kitab Toleransi (2017: 86) mengungkapkan: Al-Qur’an dalam mencapai pesan utamanya menggunakan falsafat al-tajadarruj wa al-tadrij, yaitu tahapan-tahapan dalam perubahan sosial.
Al-Qur’an tidak serta-merta melarang khamar, melainkan menggunakan tahapan-tahapan dalam rangka menyesuaikan dengan kondisi objektif masyarakat dan kebudayaan setempat.
Pada mulanya, Al-Qur’an berpesan agar tidak melaksanakan shalat dalam keadaan mabuk. Lalu, Al-Qur'an menjelaskan bahwa khamar mempunyai dampak positif dan dampak negatif, namun dampak negatifnya lebih besar.
Setelah masyarakat mengetahui dampak negatif dari khamar, kemudian dengan tegas Al-Qur’an menyatakan bahwa khamar hukumnya haram.
Intinya, agama memberikan waktu yang mencukupi untuk menaati ajarannya.
Demikian pula dengan pesantren waria, pada tahap awal bukalah kesempatan bagi mereka mengenal Tuhannya dan mempelajari Islam di pesantren. Kalau kita bersikap keras, maka mereka akan menjauh dari agama, sehingga semakin terjerumus pada kehidupan yang menyimpang.
Setelah tahapan demi tahapan dilalui dengan baik, akhirnya diharapkan para waria itu benar-benar siap untuk kembali pada kehidupan normal, sesuai anugerah kodratnya. Di sinilah kita dapat menyibak rahasia luhur dari berdirinya pesantren waria.
Rinda Fauzian & M Aditya Firdaus dalam bukunya Pendidikan Akhlak Karimah Berbasis Kultur Kepesantrenan (2018: 40) menerangkan: Masing-masing pondok pesantren memiliki tujuan pendidian yang berbeda, seringkali sesuai dengan falsafah dan karakter pendirinya.
Sekalipun begitu, setiap pondok pesantren mengemban misi yang sama, yakni dalam rangka mengembangkan dakwah Islam.
Pun dengan pesantren waria, yang sudah memiliki kekhasan tersendiri, menggarap pendidikan Islam bagi kalangan waria. Namun, kekhasan itu tidak membuat pesantren tersebut melenceng dari misi sesungguhnya, yaitu demi mendakwahkan ajaran Islam. Hanya saja, peserta didiknya dari kalangan waria.
Namun tetap saja, kubu kontra tidak rela kehormatan pesantren tercoreng. Bukankah, azab pernah diturunkan Tuhan kepada kaum dengan seksual menyeleweng tersebut? Lantas mengapa pula mereka dimasukkan ke pesantren?
Apapun itu, positif atau negatifnya pandangan terhadap pesantren waria, hendaknya ditanggapi sewajarnya. Sebab, hidup di alam demokrasi ini memang membuka peluang bagi perbedaan pendapat.
Ada baiknya kita juga perlu memahami, bahwa setiap orang memiliki dimensi ilahiyah. Nun jauh di lubuk hatinya, ada dahaga spiritual yang juga menimpa kaum waria. Mereka berhak mengenali Tuhannya dan beribadah kepada-Nya.
Pesantren adalah kekhasan budaya Indonesia dalam membangun pendidikan Islam. Kita paham, pesantren memang dipandang sebagai lembaga pendidikan terhormat yang menanamkan nilai-nilai keislaman.
Namun, waria bukanlah kondisi yang mudah dihadapi. Kita juga perlu memahami, setiap insan butuh waktu untuk kembali ke jalan kebenaran.
KOMENTAR ANDA