KOMENTAR

MIMPI buruk menimpa sang raja, tapi bayi-bayi malang tak bersalah yang menjadi korban.

Dalam tidurnya Fir’aun melihat amukan api melalap istananya, para tukang sihir menafsir mimpi secara keji bahwa Fir’aun akan dihancurkan oleh bayi laki-laki dari Bani Israil. Hanya berpangkal dari sepotong mimpi, petaka besar itu pun mulai dipentaskan.

Tak pelak lagi, Fir’aun langsung mengeluarkan maklumat paling brutal bagi sejarah kemanusiaan, seluruh bayi laki-laki Bani Israil harus dibantai. Berikutnya tangis pilu ibu-ibu pun bersahut-sahutan, bayi-bayi malang itu dihabisi saat mereka belum paham apa pun. Apalah daya Bani Israil yang hanya golongan budak, mereka ditindas habis-habisan oleh kekejaman Fir’aun.

Seorang ibu tak luput dilanda kecemasan, perempuan Bani Israil itu melahirkan bayi laki-laki. Tidak ada cara menyembunyikan bayi merahnya, mana ada yang bisa membungkam tangisan bayi. Dia menyadari tidak lama lagi prajurit-prajurit Fir’aun akan membunuh bayi tercintanya.

Hingga kemudian Ibu Musa mendapat ilham, suatu petunjuk langsung dari Tuhan. Apabila dia khawatir maka bayinya itu dapat dihanyutkan di sungai Nil. Selebihnya, biarlah Allah Swt. yang menentukan alur takdirnya.

Surah Thaha ayat 37-39, yang artinya:

37. “Sungguh, Kami benar-benar telah memberikan nikmat kepadamu pada kesempatan yang lain (sebelum ini),

38. (yaitu) ketika Kami mengilhamkan kepada ibumu sesuatu yang diilhamkan.

39. (Ilham itu adalah perintah Kami kepada ibumu,) ‘Letakkanlah dia (Musa) di dalam peti, kemudian hanyutkanlah dia ke sungai (Nil).”

Bisikan ilham itu langsung dituruti, Ibu Musa menaruh bayi tercita di dalam peti kedap air. Meski petinya tertutup disediakan pula rongga udara agar bayi masih bisa bernapas.

Sang ibu berkejar-kejaran dengan waktu, bala tentara Fir’aun dapat saja menyergap secepat kilat. Sang ibu menaruh peti itu di permukaan sungai Nil dan mulai bergerak mengikuti arus.

Selanjutnya, justru dimensi psikologis seorang perempuan yang dibentangkan oleh Al-Qur’an. Bukan hanya untaian cerita, kitab suci juga menghendaki agar kita menyelami suara hati seorang ibu.

Surah al-Qashash ayat 10, yang artinya, “Hati ibu Musa menjadi hampa. Sungguh, hampir saja dia mengungkapkan (bahwa bayi itu adalah anaknya), seandainya Kami tidak meneguhkan hatinya agar dia termasuk orang-orang yang beriman (kepada janji Allah).”

Yunan Yusuf dalam Tafsir Juz 20: Al-Qawiyyu al-Amin (2021: 141-142) menerangkan:  

Ibu tetaplah seorang ibu yang sangat menyayangi belahan jiwa, bayi yang ia lahirkan sendiri dari rahimnya. “Dan hati ibu Musa menjadi kosong (hampa).” Sesaat setelah menghanyutkan bayi Musa di sungai Nil, timbullah penyesalan dan kesangsian di hatinya.

Ibu Musa mengalami kebingungan yang sangat parah. Ia hanyutkan bayinya di sungai Nil karena mengikuti suara gaib yang ia juga ragu dari mana datangnya. Tapi, yang sudah pasti bahwa suara itu sangat jelas, yaitu menyuruh hanyutkan bayinya setelah dimasukan ke dalam sebuah peti.

Hati kosong, gelisah dan resah menyelimuti perasaan sang ibu dan tidak tahu kemana harus meminta pertolongan.

Kehampaan melanda hati Ibu Musa, dadanya bagaikan kosong tatkala menyaksikan arus sungai Nil mulai menghanyutkan peti tersebut. Tindakan perempuan itu hanya mengandalkan bisikan ilham dari Tuhan, dirinya bukan nabi atau rasul yang dapat berkomunikasi langsung dengan Ilahi.

Bisikan ilham itu dicernanya dengan cermat, dan dipandang sebagai solusi dari ancaman para prajurit Fir’aun. Namun, saat melihat bayinya hanyut di sungai, naluri keibuannya menjerit. Entah bagaimana nantinya nasib bayi tanpa daya itu, apakah mati tenggelam atau diterkam hewan buas atau dianiaya orang jahat atau malah lebih buruk dari itu.

Yunan Yusuf (2021: 142) menjelaskan:

Sampai-sampai karena kekosongan hati itu, ia mau berteriak saja agar didengar oleh banyak orang, bahwa bayinya sudah dia hanyutkan sendiri. “Sungguh, hampir saja dia menyatakannya (rahasia tentang Musa), seandainya tidak Kami teguhkan hatinya.

Terpikir pula olehnya bahwa ia pergi ke istana Fir’aun lalu mengaku saja kepada Fir'aun bahwa ia sudah melahirkan seorang bayi laki-laki, lalu menghanyutkan bayi itu ke sungai Nil.

Ia akan bermohon kepada Fir’aun agar bayinya itu diperbolehkan hidup dan akan dia rawat dengan sepenuh hati. Atau boleh jadi ia serahkan saja bayi itu kepada Fir’aun, mau diapakan terserah saja. Ia sudah berputus asa akibat dari kekosongan hati itu.

Namun, lama kelamaan suara gaib itu kembali meneguhkan hati Ibu Musa bahwa bayi yang ia lahirkan dan dia hanyutkan ke sungai Nil akan dikembalikan kepadanya sebagaimana dijanjikan. Penggalan akhir ayat menggambarkan hal itu, “agar dia termasuk orang-orang yang beriman (kepada janji Allah).”




Pantaskah Bagi Allah Anak Perempuan?

Sebelumnya

Betapa Lembutnya Al-Qur’an Menerangkan Surga Adalah Hak Perempuan

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tafsir