MEKAH menjadi sangat ramai di musim perziarahan tahunan. Bukan hanya Ka’bah yang ramai, tetapi pasar-pasar Mekah pun penuh sesak. Di antara pasar yang paling terkenal ialah: Ukazh, Majinah, dan Dzul Majaz.
Nabi Muhammad sedang mengalami masa-masa sulit dalam dakwahnya di Mekah. Namun beliau tidak berputus asa dan melanjutkan dakwah kepada para peziarah.
Seruan kepada agama Islam ditanggapi dengan beragam reaksi. Ada peziarah yang menolak, ada pula yang mengajukan syarat meminta hak kepemimpinan kelak setelah Islam berjaya. Namun, ada pula yang sinis, “Keluarga dan sukumu lebih tahu daripada kami. Malahan mereka yang tidak mengikutimu.”
Usaha keras Rasulullah tidaklah sia-sia, sebab beberapa orang dari luar Mekah menyatakan keimanan mereka, di antaranya:
Suwaid bin Shamit
Ath-Thabari dalam buku Muhammad di Makkah dan Madinah (2019: 257-258) menerangkan:
Suwaid bin Shamit -dari keluarga Bani Amr bin bin Auf- datang ke Mekah pada musim haji atau ketika melaksanakan umrah. Dalam keluarga mereka, Suwaid dipanggil dengan nama al-Kamil (orang yang sempurna) karena kesabarannya, puisi-puisinya, silsilah keluarganya yang baik, dan kebangsawanannya.
Ketika Rasulullah saw. mendengar kabar kedatangannya, beliau sangat memperhatikannya dan mengajaknya beriman kepada Allah dan memeluk Islam.
Suwaid berkata kepada Rasulullah saw., “Mungkin, sesuatu yang ada padaku sama dengan yang ada padamu.”
“Apa yang ada padamu?” tanya Rasulullah.
“Bukunya Luqman,” jawabnya, yang berarti itu mengenai nasihat kebijaksanaan Luqman.
Rasulullah berkata, “Terangkanlah itu padaku.”
Maka ia pun menguraikannya kepada Rasulullah, lalu beliau berkata, “Buku ini bagus, tapi aku punya yang lebih bagus daripada ini, yaitu Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepadaku sebagai petunjuk dan cahaya.”
Kemudian, Rasulullah membacakan Al-Qur’an, dan mengajak Suwaid untuk memeluk Islam. Ia hampir menerima Islam, dan berkata, “Ini sungguh perkataan yang luar biasa.”
Ia lalu pergi, dan kembali ke Madinah. Sayangnya, tak lama kemudian, ia dibunuh oleh suku Khazraj. Kaumnya mengatakan bahwa ia telah menjadi muslim ketika terbunuh, kematiannya terjadi sebelum Perang Bu’ats.
Suwaid bin Shamit memang insan yang berhati lurus. Di tengah kepungan budaya jahiliyah dia masih hidup dipayungi kebenaran. Sosok Luqman yang dijadikannya inspirasi, yang mana manusia mulia itu juga diterangkan dalam banyak ayat Al-Qur’an.
Kematian tragis yang menimpanya akibat peperangan, tidak mengurangi keagungan hidupnya. Sebab Suwaid bin Shamit berhasil mengukuhkan keislaman dan keimanannya, justru disaksikan oleh khalayak kaumnya di Yatsrib.
Iyas bin Mu’adz
Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam buku Sejarah Lengkap Rasulullah Jilid 1 (2012: 379-380) menjelaskan:
Ketika Abul Haisar bin Rafi’ datang ke Mekah, ia bersama dengan dua orang pemuda dari Bani Abdul Asyhal, di antara pemuda itu terdapat seorang yang bernama Iyas bin Mu’adz. Mereka meminta suku Quraisy bersumpah untuk kaum mereka Bani Khazraj.
Kemudian beliau mendatangi mereka dan duduk dengan mereka, seraya bertanya, “Apakah kalian memiliki kebaikan dari apa yang kalian bawa.”
Mereka menjawab, “Apakah itu?”
Beliau melanjutkan, “Aku adalah seorang Rasulullah yang diutus kepada para hamba, aku mengajak mereka agar menyembah Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, dan sebuah kitab diturunkan kepadaku.”
Kemudian Rasulullah menyebutkan tentang Islam dan membacakan Al-Qur’an kepada mereka. Iyas bin Mu’adz berkata, padahal ia masih kecil, “Ini lebih baik dari apa yang ada pada kalian.”
KOMENTAR ANDA