Abul Haisar mengambil segenggam tanah lalu ditaburkan ke wajahnya, seraya berkata, “Lepaskan kami dari pengaruhmu, demi umurku, kami datang bukan untuk ini.”
Iyas pun hanya terdiam, dan Rasulullah pergi meninggalkan mereka. Mereka pun kembali ke kota Madinah. Pada saat itu terjadi Perang Bu’ats, yaitu perang yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj. Tidak berapa lama, Iyas bin Mu’adz pun meninggal dunia.
Diriwayatkan dari salah satu seorang kaum yang mengikuti perang tersebut, bahwasanya Iyas senantiasa mengucapkan tahlil, takbir, tahmid, dan tasbih, sampai ia meninggal dunia. Dengan demikian mereka tidak pernah ragu bahwa Iyas meninggal dalam keadaan muslim. Sebab ia telah merasakan bias-bias keislaman di tempat itu, yaitu pada saat ia mendengar Rasulullah menjelaskan apa yang harus didengar.
Iyas bin Mu’adz masih berusia relatif muda menempuh perjalanan jauh dari Yatsrib (Madinah), tapi di Mekah dirinya berhasil menyongsong cahaya iman. Tatkala para tetua sukunya melecehkan dakwah Rasulullah, Iyas bin Mu’adz diam-diam meresapi petunjuk Ilahi jauh di lubuk sanubari.
Lagi-lagi peperangan yang merenggut nyawanya, tetapi itu pula yang menyibak suatu rahasia nan agung. Menjelang nyawa berpisah dari raga, orang-orang menyaksikan pemuda itu mengucapkan tahlil, tahmid dan tasbih. Keislamannya juga menjadi titik terang atas masa depan cerah dakwah Rasulullah.
Dhimad al-Azdi
Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri pada bukunya Sirah Nabawiyah (1997: 154-155) mengungkapkan:
Dhimad al-Azdi, dia berasal dari Azd Syanu’ah dari Yaman, dan biasa memberi pengobatan dengan cara menghembuskan angin. Dia tiba di Mekah dan mendengar orang-orang berkata, “Sesungguhnya Muhammad adalah orang gila.”
Dia berkata sendiri, “Aku akan menemui orang ini.”
Setelah menemui beliau, dia berkata, “Hai Muhammad, sesungguhnya aku biasa mengobati dengan hembusan angin. Apakah engkau memerlukannya?”
Rasulullah bersabda kepadanya, “Sesungguhnya pujian itu bagi Allah. Kami memuji dan memohon pertolongan kepada-Nya. Siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, tak seorang pun bisa menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan Allah, tak seorang pun bisa memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah semata, yang tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”
Dhimad berkata, “Aku pernah mendengar ucapan tukang tenung, ucapan tukang sihir, dan para penyair. Namun, aku belum pernah mendengar seperti kata-katamu ini. Sementara kami pun sudah menguasai kamus sedalam lautan. Berikanlah tanganmu, biar aku berbaiat atas nama Islam.”
Dhimad al-Azdi berbeda dengan orang-orang lainnya yang didatangi dan didakwahi langsung oleh Rasulullah, dukun yang satu ini malah berinisiatif sendiri mendatangi beliau. Dia hendak mengobati Nabi Muhammad yang dituding sudah gila oleh masyarakat Mekah.
Namun, mana ada orang gila mampu membicarakan ketuhanan dengan teramat indah. Dhimad al-Azdi paham sudah terjadi fitnah keji yang menimpa Nabi Muhammad. Dukun itu pun memilih agama yang memberi keselamatan dunia akhirat.
Perlahan orang-orang dari luar Mekah mulai mengenal bahkan memeluk agama Islam. Selain orang-orang dari Yatsrib (Madinah) di Arabia Utara, juga ada yang berasal dari Arabia Selatan, seperti dari Yaman.
Dengan begitu, sudah terbersit harapan baru bagi berkembangnya dakwah Islam setelah melalui masa teramat berat di Mekah.
KOMENTAR ANDA