ANGKA kematian ibu melahirkan di Indonesia, masih cukup tinggi. Wajar kiranya jika kritikan datang dengan sangat deras. Tidak perlu panas hati menanggapinya, karena memang kita tidak bisa berdiam diri melihat ibu-ibu terus berguguran ketika menunaikan “tugas” sucinya.
Mengutip laman resmi Kementerian Kesehatan, Angka Kematian Ibu (AKI) masih berada di angka 305 per 100.000 Kelahiran Hidup. Jumlah itu tentu saja belum mencapai target yang ditentukan yaitu 183 per 100.000 Kelahiran Hidup. Namun, target tersebut diupayakan tercapai pada 2024.
Angka-angka ini terlihat menyeramkan, betapa banyaknya ibu-ibu yang meninggal dunia karena melahirkan. Ada yang salah jika kita hanya diam melihat fakta ini, terlebih sebagian besar kasus terjadi akibat penolakan rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya.
Sekiranya masih ada pihak-pihak tertentu yang panas dengan hujaman kritikan, maka cermatilah kisah Umar bin Khattab. Saat menjabat khalifah, Umar berhasil menjadikan negara Islam sebagai adikuasa dunia.
Luar biasa prestasinya, banyak yang ditorehkan Umar tidak membuatnya antikritik atau mengabaikan derita rakyat jelata. Terlebih dalam membela hak-hak wanita, Umar menjadi yang terdepan sekalipun dirinya mendapatkan hantaman mulut pedas.
Sesuai dengan kebiasaannya berpatroli di malam hari memantau keadaan rakyat, maka di malam itu didengarnya suara rintihan perempuan. Saat didekati, suami perempuan itu justru mengeluarkan kata-kata tajam terkait khalifah yang kurang peduli terhadap rakyatnya. Ia membuktikannya dengan kesakitan sang istri yang hendak melahirkan tanpa pertolongan.
Lelaki itu tidak tahu yang di hadapannya adalah sang khalifah, wajar bila mulutnya tidak terkontrol. Umar tidak marah mendengarnya, sekalipun ia digelari singa, tetapi hatinya amatlah sejuk. Mendengar itu, sang khalifah turun tangan langsung memastikan persalinan berjalan lancar.
Ali Muhammad Ash-Shallabi pada buku Biografi Umar bin Al-Khathab (2008: 256-257) menceritakan: tatkala Umar meronda di suatu malam, ia melewati sebuah tanah lapang yang berada di Madinah. Ternyata, di tanah lapang itu sudah ada sebuah rumah yang baru dibangun. Umar menghampirinya dan mendengar rintihan seorang wanita dan melihat seorang laki-laki duduk di dekat wanita itu.
“Suara apa yang saya dengar dari dalam rumah ini?” tanya Umar.
“Itu suara istri saya yang sedang dalam proses persalinan,” jawab laki-laki itu.
“Apakah ada orang lain yang membantu Anda?” tanya Umar.
“Tidak ada,” jawab laki-laki itu.
Setelah itu, Umar pulang ke rumahnya. Beliau mengatakan kepada istrinya, Ummu Kultsum binti Ali, “Apakah Anda ingin mendapatkan pahala yang dikirimkan Allah kepada Anda?”
“Apa itu?" tanya Ummu Kultsum.
“Ada seorang wanita dari kampung yang sedang dalam proses persalinan, sementara tidak ada seorang pun yang membantu dia,” kata Umar.
“Ya, saya bersedia membantu dia bila Anda menghendaki,” kata Ummu Kultsum.
“Ambillah perlengkapan-perlengkapan yang dibutuhkan untuk proses persalinan, seperti kain dan minyak. Dan bawalah kemari periuk, minyak lemak, dan gandum!” kata Umar kepada Ummu Kultsum.
Ummu Kultsum mengambil dan menyerahkannya kepada Umar. “Ayo kita pergi sekarang!” kata Umar kepada istrinya.
Umar membawa periuk dan Ummu Kultsum berjalan di belakangnya hingga mereka sampai di tempat tujuan. Setelah sampai, Umar berkata kepada istrinya, “Masuklah dan temuilah wanita itu!”
Umar lalu duduk di samping laki-laki dari kampung itu. “Nyalakanlah api untukku!” pinta Umar. Laki
-laki itu menyalakan api. Umar lalu meletakkan periuk di atas api hingga masakan matang.
Tidak lama kemudian, wanita itu melahirkan bayinya. Ummu Kultsum mengatakan kepada Umar, “Wahai Amirul Mukminin, berilah kabar gembira kepada sahabatmu dengan kelahiran putranya!”
Ketika laki-laki itu mendengar kata “Amirul Mukminin”, ia tampak takut dan berusaha menyingkir.
“Duduklah di tempatmu seperti biasa!” kata Umar.
KOMENTAR ANDA