Apabila kondisi orang yang berutang sedang berada dalam kesulitan dan ketidakmampuan, maka kepada orang yang memberikan utang dianjurkan untuk memberikan kelonggaran dengan menunggu sampai ia mampu untuk membayar utangnya.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 280, yang artinya, “Jika dia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui(-nya).”
Jadi, kesadaran untuk melunasi utang itu lebih dulu ditanamkan jauh-jauh hari sebelum berutang, sebab pada bagian pelunasan inilah berbagai keributan bermunculan. Ingatlah, pihak peminjam yang punya kemampuan finansial tapi menunda-nunda pembayaran maka dirinya digolongkan sebagai zalim.
Lain ceritanya kalau pihak peminjam memang benar-benar tidak mampu, maka fikih Islam pun menganjurkan pemberian tenggang waktu. Sebab, mau dipaksa macam apapun yang namanya orang tidak mampu tetap saja tidak kuasa melunasinya.
Sayyid Sabiq dalam buku Fikih Sunnah Jilid 5 (2009: 241) menceritakan:
Diriwayatkan dari Abu Qatadah bahwa dia pernah mencari seseorang yang berutang kepadanya. Orang itu bersembunyi, lalu Abu Qatadah mendapatinya. Orang itu berkata, “Sesungguhnya aku dalam kesukaran.”
Abu Qatadah berkata, “Benarkah demikian?”
Orang itu berkata, “Demi Allah.”
Lantas Abu Qatadah berkata, “Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang ingin diselamatkan Allah dari kesusahan-kesusahan pada hari kiamat, hendaknya dia memberi tenggat kepada orang yang dalam kesulitan atau membebaskan (utang) darinya.”
Demikianlah agama Islam menata apik utang piutang supaya tujuan kemaslahatannya tercapai. Sekiranya utang piutang itu berujung petaka, maka kembalilah kepada kaidah fikih Islam.
KOMENTAR ANDA