Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa melakukan ibadah Ramadhan karena iman dan mengharapkan rida Allah, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Muttafaq alaih)
Jadikanlah keimanan sebagai landasan beribadah dan keridaan menjadi tujuan ibadah Ramadhan. Sehingga, para hamba-Nya memperoleh pengampunan atas dosa-dosanya. Begitulah terstruktur dengan rapi arahan Nabi Muhammad melalui hadis sucinya, yakni berpuasa dengan iman dan harapan terhadap rida Ilahi.
Hanya saja, dalam ibadah pun kita tidak boleh bersikap egois. Istilah orang-orang, jangan berpikir masuk surga sendirian saja. Jadikanlah bulan suci ini sebagai Ramadhan keluarga. Tidak cukup hanya diri sendiri yang sibuk meraup pahala, sementara suami atau istri dan anak-anak terlelap dalam kehampaan spiritual.
Ibnu Hajar al-Asqalani (2019: 136-137) mengungkapkan:
Dari Aisyah, Rasulullah saw. bila memasuki sepuluh hari --yakni sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan-- mengencangkan kain sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (HR. Muttafaq alaih)
Ingatlah, sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah malam-malam puncak yang pahalanya berlimpah. Sehingga, Rasulullah sampai mengencangkan kain sarungnya supaya lebih total dalam beribadah.
Namun, cermatilah bagian akhir dari hadis tersebut, suatu kasih sayang Nabi Muhammad yang membuat dirinya jadi kenangan terindah bagi sang istri. Bahwa beliau membangunkan keluarganya, supaya ikut bergiat dalam rangkaian ibadah di sepuluh malam penghujung Ramadhan.
Demikianlah ibadah Ramadhan itu menampilkan kesyahduannya dengan cara menyejukkan, supaya setiap mukmin benar-benar jadi pemenang sejati di hari Idul Fitri. Hari raya adalah hari kemenangan, tentunya bagi mereka yang berhasil meraih keutamaan di bulan suci.
KOMENTAR ANDA