“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Alangkah luar biasa dahsyatnya cinta yang dibuktikan oleh kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin. Mereka ikhlas mempersembahkan apapun yang dimiliki demi keselamatan saudara seiman dari Mekah tersebut. Pantaslah Al-Qur’an mencantumkan ayat khusus yang memberi sanjungan atas cinta yang berlandaskan keimanan.
M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah menyebutkan:
Thabathaba’i memahami kalimat tabawwa’ud daar yang artinya, “yang telah menempati kota (Madinah),” dalam arti membangun kota Madinah serta mewujudkan satu masyarakat agamis yang menjadi tempat pemukiman orang-orang mukmin.
Lebih lanjut Quraish Shihab menerangkan, penyambutan kaum Anshar (penduduk Madinah) dan kecintaan mereka kepada Muhajirin sedemikian besar sampai-sampai ada di antara mereka yang bersedia membagi hartanya kepada yang berhijrah itu, atau memberi makan yang disiapkan untuk anak-anaknya demi menjamu Muhajirin yang membutuhkan pangan.
Kisah antara Muhajirin dan Anshar dapat disebut sebagai kisah cinta suci. Cinta yang berlandaskan keimanan kepada Tuhan. Cinta sejati yang penuh pengorbanan. Kaum Anshar menyambut Muhajirin dari Mekah dengan sepenuh cinta, menyediakan segala yang terbaik dari yang dimilikinya, meskipun kaum Anshar itu berada dalam kesusahan. Dari itu pula bermunculan berbagai kisah menakjubkan perihal Muhajirin dan Anshar ini.
Begitulah peradaban Islam dibangun dengan cinta, yang membuatnya tetap digdaya hingga akhir masa. Tidak terjadi konflik antara pendatang dengan pribumi sebagaimana marak di masa sekarang ini, sebab Rasulullah menyadari apabila pembangunan manusianya sudah berhasil niscaya mudah membangun aspek lainnya.
Masih berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia adalah dengan mengutamakan pembangunan masjid, yang bukan sekadar tempat ibadah tetapi juga menjadi pusat peradaban.
Masjid itu dibangun secara gotong-royong penuh keikhlasan. Rasul pun turut mengaduk bahan bangunan maupun membawa bebatuan bersama dengan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Pembangunan Masjid Nabawi sangatlah penting sebagai pusat perjuangan Islam dengan lebih dulu membangun sumber daya manusianya.
KOMENTAR ANDA