SEMULA hanyalah iseng-iseng sekadar mengisi waktu, lambat laun ibu muda tersebut tidak menyangka konten-konten video yang diraciknya malah menghasilkan pundi-pundi cuan. Asal mulanya suami hanya memberikan dukungan moril atas kegiatan istrinya selain fokus sebagai ibu rumah tangga.
Giliran suaminya turut mencoba, dia malah ikut serius menggarap pembuatan konten tersendiri, kemudian dia malah berani meninggalkan zona nyaman pekerjaan sebelumnya. Semangat orang memang makin berkobar kalau sudah berhubungan dengan uang.
Awalnya, baik istri atau suami sama-sama membuat konten lucu-lucuan terkait romantika rumah tangga. Dasar rezeki lagi mujur, warganet banyak yang suka dan pemasukan dari adsense pun mengalir deras. Cuannya kian menggoda!
Lambat-laun ide-ide terkait konten lucu makin lama semakin kering, berikutnya baik sang suami atau pun sang istri membuat konten yang mulai mengumbar aib pasangan. Ajaibnya, lagi-lagi warganet suka dan cuan pun terus mengalir. Tampaknya konten-konten aib suami istri sedang banyak penggemarnya.
Ternyata kedua insan tersebut hanyalah manusia biasa, siapa sangka dampaknya hubungan suami atau istri bukan hanya merenggang tapi jadinya malah memanas. Pasalnya suami tersinggung dengan konten istri yang tidak jarang mengumbar aibnya sebagai suami. Sang istri tidak kalah meradang perihal suami yang mulai keterlaluan mengumbar aib sang istri.
Cuan yang mengalir deras itu rupanya bisa menjadi petaka suami istri, yang mengancam tenggelamnya bahtera rumah tangga. Sampai di sini, hendaknya kaum muslimin perlu memahami hukum bikin konten di media sosial. Karena kini pembuatan konten medsos memang sedang digemari, sungguh berbahaya kalau dibiarkan tanpa pengaman.
Paling utama dalam berhukum itu adalah dengan merujuk kepada aturan Al-Qur’an, yang terkait tema ini diterangkan surat an-Nisa ayat 114, yang artinya:
“Tidak ada kebaikan pada banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali (pada pembicaraan rahasia) orang yang menyuruh bersedekah, (berbuat) kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Siapa yang berbuat demikian karena mencari rida Allah kelak Kami anugerahkan kepadanya pahala yang sangat besar.”
Ayat ini menganjurkan pembicaraan apapun, bahkan yang tergolong rahasia pun, hendaknya dalam koridor kebaikan dan perdamaian di antara umat manusia.
Apa pun konten yang dibuat, pastinya jangan sampai berujung keburukan atau malah permusuhan. Konten bukanlah sesuatu yang dirahasiakan melainkan disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia, dari itulah pesan Al-Qur’an untuk membingkainya dengan kebajikan dan kedamaian.
Petuah Rasulullah saw. juga bisa dipakai untuk tema konten medsos ini, seperti yang dikutip Fajar K. dalam bukunya Amalmu Bukti Cintamu kepada Allah (2023: 313) bahwa:
Dalam hadis dikatakan, Rasulullah mengingatkan dengan tegas, “Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan satu kalimat tanpa dipikirkan terlebih dulu, dan karenanya dia terjatuh ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.” (HR. Muslim)
Sedikit saja konten yang dibuat itu tanpa berlandaskan pemikiran yang sehat (yang berujung keburukan atau kejahatan) niscaya api neraka yang akan menjadi balasannya.
Tuntunan sekaligus peringatan dari Al-Qur’an dan hadis itu hendaknya menyadarkan para pembuat konten untuk lebih berhati-hati. Lantas bagaimana dengan hukumnya?
M. Syafi'i Hadzami dalam bukunya Taudhihul Adillah (2010: 308) menerangkan: hal ini sebagaimana dikatakan dalam Ushul Fiqh; lil wasail fii hukmi, artinya, untuk perantaran-perantaraan itu, terhukumlah hukum-hukum tujuan.
Kaidah Ushul Fiqh ini, lil wasail fii hukmi, maksudnya hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju. Jadi, hukum konten media sosial itu bisa diketahui berdasarkan tujuannya. Dengan demikian hukum membuat konten di media sosial pada dasarnya boleh-boleh saja, tetapi sesuai dengan kaidah Ushul Fiqh di atas, maka bisa saja menjadi haram atas situasi dan kondisi tertentu.
Asep Gunawan, dkk. dalam buku 30 Fatwa MUI Menjawab Problematika Kehidupan (2023: 107) mengutip dari fatwa MUI, bahwa memproduksi, menyebarkan dan/atau membuat dapat diaksesnya konten/informasi yang tidak benar kepada masyarakat hukumnya haram.
Supaya tidak terjerumus dalam konten-konten yang diharamkan dan supaya umat Islam senantiasa terjaga dalam membuat konten yang halal, maka Majelis Ulama Indonesia pun mengeluarkan tuntunan yang terperinci.
Sugeng dalam buku Hukum Telematika Indonesia (2020: 47-48) menerangkan:
Pada bagian pedoman pembuatan konten/informasi, fatwa MUI tersebut memuat ketentuan pembuatan konten/informasi yang akan disampaikan ke ranah publik harus berpedoman pada hal-hal, sebagai berikut:
a. Menggunakan kalimat, grafis, gambar, suara dan/atau yang simpel, mudah dipahami, tidak multitafsir, dan tidak menyakiti orang lain;
b. Konten/informasi harus benar, sudah terverifikasi kebenarannya dengan merujuk pada pedoman verifikasi informasi sebagaimana bagian A pedoman bermuamalah dalam fatwa ini;
c. Konten yang dibuat menyajikan informasi yang bermanfaat;
d. Konten/informasi yang dibuat menjadi sarana amar makruf nahi mungkar dalam pengertian yang luas;
KOMENTAR ANDA