Salih Suruc (2015: 176) menceritakan dialog mengharukan istri Rasulullah dengan ayahandanya:
Abu Bakar pun terkena penyakit ini. Ia terbaring di atas tempat tidur. Suhu tubuhnya tinggi. Ia mengalami demam saat Aisyah menjenguknya. Ia saat itu sedang tidur dan tak sadarkan diri. Melihat kondisi ayahnya seperti itu, Aisyah menjadi sedih dan meneteskan air matanya.
“Ayahku sayang, bagaimana keadaanmu?” tanya Aisyah saat ayahnya membuka mata.
Abu Bakar tidak mampu menjawab pertanyaan putrinya. Kedua matanya terbuka, namun seakan-akan ia sedang berada di dunia yang lain.
Ia hanya mengatakan hal ini sambil menggigau, “Untuk semua orang yang pagi-pagi berada dalam keluarganya, kematian lebih dekat daripada sesuatu yang menghalanginya pergi ke suatu tempat.”
Aisyah berkata, “Demi Allah, ayahku mungkin sedang tidak sadar dengan apa yang dikatakannya.”
Lalu Aisyah kembali dan berkata kepada Rasulullah saw. dengan penuh kesedihan, “Wahai Rasulullah, ayahku dan orang-orang di sampingnya seperti kehilangan akal karena demam tinggi. Bahkan, mereka tidak sadar dengan apa yang mereka katakan.”
Begitulah hebatnya punya istri yang cerdas sekaligus punya empati, seperti Aisyah yang membuka cakrawala suaminya yang juga tengah sedih melihat kondisi Muhajirin. Aisyah meyakinkan suaminya kondisi kesehatan masyarakat Madinah sudah di level mengkhawatirkan.
Nabi Muhammad saw. menyadari maksud yang tersirat dari penjelasan istrinya. Tentunya berbagai upaya pengobatan sudah dilakukan, tetapi orang-orang yang jatuh sakit terus bertambah. Rasulullah memahami perlunya suatu upaya extraordinary untuk mengatasi wabah. Kemudian beliau pun segera melakukan sesuatu yang sangat dinantikan oleh Aisyah dan masyarakat Madinah.
Mahdi Rizqullah Ahmad (2017: 397) menyebutkan:
Mendengar itu, beliau berdoa,
“Ya Allah, berikanlah rasa cinta kami kepada Madinah seperti cinta kami kepada Mekah, bahkan lebih. Selamatkanlah dan turunkanlah berkah dalam tiap-tiap satu sha' dan mud-nya. Pindahkanlah penyakit demam yang melanda di dalamnya dan jadikanlah kota tersebut (Madinah) sebagai kota yang bersih dari berbagai penyakit.”
Doa Rasulullah adalah doa yang diijabah langsung oleh Allah Swt. Seketika wabah penyakit itu pun sirna bersama pulihnya kesehatan kaum Muhajirin seperti sediakala. Semenjak itu pula Madinah terbebas dari berbagai wabah dan tidak ada lagi istilah demam Yatsrib yang menghantui itu.
Menariknya, sebelum berdoa memohon agar penyakit diangkat, Rasulullah malah meminta lebih dahulu anugerah rasa cinta terhadap Madinah dan memohon keberkahan.
Di kemudian hari, baik itu Nabi Muhammad maupun para sahabat Muhajirin tidak pernah tinggal lagi di Mekah, mereka menetap di Madinah, kota yang diberkahi dan dicintai.
KOMENTAR ANDA