NABI Muhammad melihat potensi yang luar biasa pada kaum Anshar, yaitu muslimin penolong dari Madinah. Mereka memiliki sifat mulia dan kemurahan hati yang tak terhingga, saripati dari keyakinan mereka terhadap Islam. Sifat-sifat mulia ini membuat para Muhajirin semakin nyaman dan betah di negeri hijrah.
Sejarah mencatat dengan indahnya tentang bantuan yang dilimpahkan oleh kaum Anshar, yang saling berlomba menyambut para Muhajirin di rumah-rumah mereka. Beberapa ayat dalam Al-Qur’an menunjukkan pujian Allah Swt. terhadap perilaku luhur kaum Anshar, yang merupakan penduduk asli Madinah.
Abdurrahman Ra'fat al-Basya dalam buku Sirah 65 Sahabat Rasulullah (2016: 269) mengungkapkan:
Saat Rasulullah menjadikan kaum Muhajirin dan Anshar bersaudara, maka beliau menjadikan Abdurrahman bin Auf sebagai saudara Sa’ad bin Rabi’ al-Anshari.
Sa’ad berkata kepada saudara barunya, Abdurrahman bin Auf, “Saudaraku, aku adalah penduduk Madinah yang paling banyak hartanya. Aku memiliki dua kebun, dan aku punya dua istri.”
“Pilihlah kebun mana yang engkau sukai sehingga aku memberikannya kepadamu. Dan pilihlah istriku yang mana yang engkau sukai agar aku mentalaknya untukmu!”
Abdurrahman lalu berkata kepada saudara barunya yang berasal dari suku Anshar, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan hartamu. Tetapi, tunjukkan kepadaku di mana pasar!”
Lalu Sa’ad menunjukkan Abdurrahman, dan ia mulai berdagang sehingga mendapatkan keuntungan dan ia tabung keuntungan tersebut. Tidak lama berselang, ia sudah dapat mengumpulkan uang sebagai mahar pengantin dan ia pun menikah.
Abdurrahman berkata, “Sepertinya dunia mendatangiku, sehingga aku merasa bila aku mengangkat sebuah batu, maka aku menduga bahwa akan menemukan emas atau perak di bawahnya.”
Sa’ad bin Rabi’ al-Anshari tidak sedang menyombongkan diri saat menyebutkan harta kekayaan yang dimilikinya. Melainkan demi mengungkapkan tawaran kepada saudara seiman yang telah susah payah berhijrah ke Madinah. Pada kesempatan itulah, Sa’ad menawarkan salah satu lahan pertaniannya.
Lelaki Anshar itu tidak sedang berkhianat kepada istri-istrinya saat mempersembahkan pilihan kepada Abdurrahman. Dia tidak berkehendak mencampakkan istrinya, melainkan ingin menunjukkan ketulusan hatinya demi Islam. Sa’ad menyadari kalau membantu itu mestilah secara maksimal, bukan hanya kebutuhan lahiriah tapi juga batiniah.
Untuk berbagi harta saja manusia biasa sudah keberatan, apalagi sampai berbagi (melepaskan) istri, tentulah sangat berat. Namun, inilah gambaran murah hatinya kaum Anshar. Tawaran yang menarik itu tumbuh dari hubungan persaudaraan iman yang terjalin atas perintah Rasulullah.
Namun, dalam ikatan persaudaraan tersebut, kaum Muhajirin adalah mereka yang tahu diri. Sebagaimana Abdurrahman bin Auf memiliki kesadaran diri dan tidak ingin memberatkan orang yang baik hati.
Abdurrahman bin Auf dengan bijak berkata, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan harta kamu. Lebih baik tunjukkan saja di mana pasar.”
Tidak diragukan lagi kemurahan hati Sa’ad, bahkan istri tercantik pun dengan ikhlas akan diceraikannya demi kebahagiaan sahabat seiman. Kurang apa lagi bukti betapa murah hatinya kaum Anshar?
Sebaliknya, sikap tahu diri ditunjukkan dengan gagah perwira oleh kaum Muhajirin, dengan tidak menunjukkan jurus aji mumpung. Jangankan mengambil istri cantik sahabatnya, Abdurrahman juga menolak dengan halus tawaran lahan pertanian.
Dia memiliki mental kemandirian. Dan dari sikap tahu diri itu pula Allah memberi balasan, siapa sangka bisnis yang bermodalkan keyakinan justru mengantarkan dirinya menjadi konglomerat. Sejarah mencatat dengan torehan emas bahwa bermodalkan sikap tahu diri itu kaum Muhajirin dengan segera menggapai kesuksesan ekonomi.
Demikianlah keserasian itu berlangsung dengan indahnya, ada yang murah hati dan ada yang tahu diri. Sikap kesadaran diri tercermin dalam sikap hati para Muhajirin. Mereka memang tidak punya apa-apa, tapi juga tidak ingin menyusahkan saudara mereka dari kaum Anshar.
Sanjungan terhadap sikap mulia ini tercantum pada surat al-Hasyr ayat 9, yang artinya:
“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Untuk memperkuat lagi ikatan persaudaraan di bawah naungan Islam, Rasulullah saw. bersabda, “Mari kita menjadi saudara karena Allah; dua orang, dua orang.”
Begitu hijrah terjadi makanya satu orang Muhajirin disatukan dengan satu orang Anshar yang menampung di rumahnya dan mengurusi kebutuhannya. Namun, pihak Anshar menaati titah Rasulullah dalam wujud kasih sayang yang luar biasa. Di antara bentuk kasih sayang yang ditunjukkan oleh kaum Anshar adalah ketika mereka menawarkan kebun-kebunnya.
Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam bukunya Sejarah Lengkap Rasulullah Jilid 1 (2012: 501) menceritakan:
Abu Hurairah menyatakan, kaum Anshar berkata kepada Nabi Muhammad, “Bagikanlah kebun kurma kami, untuk kami dan saudara kami, kaum Muhajirin.”
KOMENTAR ANDA