PASCA-kematian istrinya, sikap sang bos muda pun berubah drastis. Dia seperti menarik diri dari pergaulan sosial, terkhusus menjaga jarak dengan kaum hawa. Tetapi, dengan kualitas yang dimilikinya, wajar bila status duda keren itu mengundang beberapa perempuan melakukan pendekatan. Namun, dirinya tegas mengatakan tengah berada di masa berkabung.
Sudah sekian purnama berlalu, sang bos muda masih saja menikmati masa berduka cita. Tidak mau melayani deretan perempuan yang menunjukkan keseriusan. Bahkan dirinya tetap menjaga jarak terhormat dengan para kolega perempuannya. Tawaran jodoh dari pihak keluarga juga ditepisnya secara halus. Orang-orang memandang heran atas sikap sang duda keren.
Sebaiknya jangan salah paham dulu, dan janganlah lekas berprasangka buruk. Seandainya orang-orang memahami konsep ihdad yang ditetapkan Islam, niscaya akan muncul suatu pengertian nan mengharukan.
Sulistyowati Irianto dalam buku Perempuan & Hukum (2006: 171) mengungkapkan:
Ihdad (masa berkabung) dalam perkawinan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 170 merumuskan:
(1) Istri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.
(2) Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.
KHI sesungguhnya telah mengatur perlunya masa berkabung (ihdad) bukan hanya bagi istri, melainkan juga suami. Gagasan KHI ini sangat progres, jauh melampaui ketentuan kitab fikih.
Hanya saja, ketentuan itu belum dilaksanakan secara konkret di masyarakat. Sebab, masyarakat masih mengacu kepada ketentuan fikih yang hanya menyebutkan ihdad bagi istri, bukan suami.
Duda keren pada kisah pembuka sedang menjalani ihdad atau masa berkabung. Dia sangat mencintai almarhumah istrinya. Tiap sebentar didatanginya makam sang istri. Bahkan kubur pun tidak mampu memisahkan ikatan hati dua insan. Kejadian ini menjadi bukti betapa ihdad
Sikapnya mungkin kurang lazim, jarang sekali seorang duda menjalani masa berkabung, apalagi berlangsung cukup lama. Secara umum orang-orang mengira duda dengan lekas berpaling ke lain hati, dengan segera mendapatkan istri pengganti.
Namun, apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia, bahwa lelaki juga punya hak ihdad atau masa berkabung. Hanya saja masa ihdad lelaki disebutkan sesuai dengan kepatutan. Kriteria ini tidak ditetapkan ukuran waktunya, tapi justru memberi kesempatan yang mencukupi untuk kembali menata hati.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan bahwa bukan hanya istri menjalani masa berkabung atau ihdad, tapi juga suami berhak menjalaninya. Karena disebutkan masa ihdadnya sesuai kepatutan, jadi jangan heran kita harus menghargai masa berkabungnya yang lama. Sekeren apapun kualitas duda itu, tapi dirinya berhak ihdad atas kematian istri tercinta.
Kemudian, apa bedanya ihdad dengan iddah?
Miftah Faridl dalam buku 150 Masalah Nikah dan Keluarga (1999: 128) menerangkan:
Apa perbedaan iddah dengan ihdad?
Iddah adalah masa menunggu seorang perempuan untuk melakukan perkawinan setelah dicerai oleh suaminya, baik cerai hidup atau karena ditinggal wafat suaminya, dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau untuk berpikir bagi suaminya apabila ingin kembali (rujuk) lagi. Masa iddah yang ditinggal suami adalah empat bulan sepuluh hari.
Ihdad adalah masa berkabung seorang istri yang ditinggal wafat oleh suaminya, yaitu tidak mengenakan pakaian yang mencolok apalagi seronok, tidak memakai wangi-wangian, dan lain-lain (tidak mempercantik diri).
Secara konkret perbedaannya adalah, iddah merupakan masa tunggu bagi seorang perempuan yang berpisah dengan suaminya karena ditalak atau berpisah disebabkan kematian. Sedangkan ihdad merupakan masa berkabung dengan cara menahan diri.
Ibnu Rusyd dalam buku Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid: Jilid 2 (2016: 231) menerangkan:
Secara singkat para fuqaha menyatakan bahwa perempuan yang melakukan ihdad terlarang berhias yang akan mengundang laki-laki untuk mendekati perempuan; yaitu dalam bentuk perhiasan dan celak mata. Terkecuali hal-hal yang tidak termasuk perhiasan atau berpakaian kain berwarna selain hitam. Imam Malik tidak memakruhkan perempuan yang melakukan ihdad untuk mengenakan pakaian hitam.
Semua ulama memberi rukhsah bagi perempuan yang melakukan ihdad untuk memakai celak di saat darurat. Sebagian ulama mempersyaratkan selama itu tidak menjadi perhiasan. Sedangkan sebagian ulama lainnya tidak mempersyaratkan hal itu. Sebagian ulama ada yang mempersyaratkan hal itu dilakukan di malam hari, bukan siang hari.
Singkatnya, berbagai pendapat para fuqaha tentang hal-hal yang harus dihindari oleh perempuan yang melakukan ihdad memiliki kemiripan; yaitu segala sesuatu yang dapat menggerakkan lelaki untuk mendekati perempuan.
Sejatinya ihdad itu sebagai penghormatan terhadap perasaan pihak yang berduka dan penghargaan atas prikemanusiaan. Istilah ini sering digunakan dalam konteks agama Islam untuk menggambarkan tindakan solidaritas dan empati terhadap individu atau keluarga yang sedang mengalami kematian atau duka yang mendalam.
KOMENTAR ANDA