DAHULU kala, keju seperti menjadi porsi kalangan atas saja, sampai-sampai ada istilah berkembang; aku anak singkong, kau anak keju. Terlihat jelas keju sudah menggambarkan level sosial. Karena dulu harga keju tidaklah murah. Kalangan tertentu saja yang kuat sering-sering membelinya.
Kini, keju ada di mana-mana. Keju semakin digemari, dan harganya kian terjangkau. Berbagai lapisan masyarakat dapat dengan mudah mencicipinya. Dengan makin meluasnya penggunaan keju, sampailah konsumen muslim kepada pertanyaan kritis mengenai bahan-bahannya.
Kalau diamati lebih ke hulunya, keju sudah melalui sejarah yang sangat panjang. Sebagaimana Aji Sutrisno dalam bukunya Teknologi Enzim (2017: 3-4) menerangkan:
Sejak zaman pra sejarah manusia telah memiliki kemampuan dalam membuat berbagai produk fermentasi seperti: alkohol, roti dan keju. Salah satu referensi tertua yang terkait dengan enzim ditemukan dalam puisi Yunani yang ditulis pada abad 800 SM, yang menyebutkan penggunaan enzim dalam pembuatan keju.
Sejarah yang terkait dengan pemanfaatan enzim dalam industri dimulai ketika Hansen pada tahun 1874 memproduksi rennet dari perut anak sapi untuk proses pembuatan keju.
Keju memang diolah dari bahan berkelas, dan menambah kenikmatan bersantap. Akan tetapi, berkaitan dengan kehalalan, perkara gengsi tidak bisa dijadikan patokan lagi. Apa pun jenisnya dan berapa pun harganya, standarisasi halal tidak dapat diabaikan.
Abdul Wahab Abdussalam Thawilah dalam buku Fikih Kuliner (2010: 199) menyebutkan:
Susu yang suci itu halal, termasuk makanan yang berbahan darinya, seperti keju dan mentega. Sebaliknya, haram jika tidak suci. Dalam proses pembuatannya, keju dibuat dengan mencampurkan rennin (suatu enzim yang terdapat dalam cairan perut (gastric juice); membuat susu berubah dari cair menjadi zat semipadat (berkoagulasi).
Nah, jika dibuat dari susu binatang yang boleh dimakan, kemudian dicampur dengan rennin binatang yang disembelih sesuai tuntunan syariat, ulama sepakat itu halal. Sebab, tidak bercampur dengan benda najis.
Namun, ulama berselisih pendapat jika bercampur dengan rennin binatang yang tergolong najis atau bangkai, dan atau yang dihukumi bangkai.
Bahan utama dalam pembuatan keju adalah susu. Dan jenis susu yang umum digunakan adalah susu sapi. Namun, terdapat juga keju yang dibuat dari susu kambing, domba, atau susu hewan lainnya. Titik rentannya jika diambil dari bahan binatang yang diharamkan atau binatang yang disembelih tidak sesuai dengan syariat Islam.
Jika susu yang digunakan berasal dari binatang yang halal dan dicampur dengan rennin yang juga berasal dari binatang yang halal dan disembelih sesuai tuntunan syariat, maka mayoritas ulama sepakat bahwa keju tersebut halal. Ini karena tidak ada bahan najis yang bercampur dalam proses pembuatannya.
Namun, ketika rennin yang digunakan berasal dari binatang yang tergolong najis atau bangkai, atau rennin yang dihukumi bangkai, maka terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Beberapa ulama berpendapat bahwa keju yang menggunakan rennin semacam itu akan menjadi haram karena mencampurkan bahan najis dalam proses pembuatannya.
Lebih lanjut, enzim yang dipandang cukup kritis sebagai bahan pembentuk keju. Memang industri makanan berkembang pesat setelah ditemukannya penggunaan enzim, akan tetapi di sini pula konsumen muslim perlu makin siaga mencermatinya.
Zulham dalam bukunya Peran Negara Dalam Perlindungan Konsumen Muslim Terhadap Produk Halal (2018: 269) mengungkapkan:
Demikian juga penggunaan enzim dalam industri makanan, produsen biasanya mengambil keuntungan dari sifat enzim untuk meningkatkan hasil, menghemat waktu dan biaya, meningkatkan rasa, memengaruhi warna, dan tekstur hingga pada produk jadi.
Saat ini, enzim digunakan untuk berbagai tujuan seperti kue, buah dan sayuran, pembuatan keju, minuman dan produksi bahan makanan lainnya. Enzim dapat diambil dari hewan, tumbuhan ataupun dari mikroorganisme, yang bisa halal atau haram, tergantung pada sumbernya.
Salah satu manfaat produk bioteknologi dengan variasi karakteristik enzim adalah meningkatkan hasil produksi dibandingkan dengan menggunakan sumber-sumber tradisional, akibatnya biaya produksi dan biaya bahan makanan ikut menurun.
Di sini tersibaklah sedikit rahasia makin terjangkaunya harga keju, salah satunya penggunaan enzim yang membuat biaya produksi makin ringan. Namun, perkara harga yang makin bersahabat itu tentu disebabkan oleh banyak faktor, bukan keberadaan enzim belaka.
Penggunaan enzim dalam produksi keju dapat membantu mengurangi biaya produksi, tetapi faktor-faktor lain seperti produksi massal, efisiensi produksi, bahan baku, persaingan pasar, dan permintaan juga berperan penting dalam menentukan harga jual keju. Penting untuk memahami bahwa keberadaan enzim tidak menjadi satu-satunya faktor penentu harga keju yang lebih terjangkau.
Hanya saja, enzim itu yang justru menjadi faktor kritis keju yang mengkhawatirkan, khususnya tahap koagulasi atau proses penggumpalan susu dalam pembuatan keju.
Titis Sari Kusuma & Adelya Desi Kurniawati pada bukunya Makanan Halal dan Thoyyib (2021: 109) menjelaskan:
Titik kritis dalam proses pembuatan keju terdapat pada tahap koagulasi. Terdapat dua metode koagulasi yakni metode enzimatis dan metode mikrobiologi. Metode enzimatis dilakukan dengan enzim rennin (rennet). Hal ini menjadi sebuah risiko karena hewan penghasil rennet, bisa saja dari hewan yang tidak halal.
Metode kedua yakni metode mikrobiologi. Metode mikrobiologi bisa menggunakan bakteri asam laktat (BAL). Risikonya adalah media yang digunakan untuk menumbuhkan BAL.
KOMENTAR ANDA