TIDAKLAH mungkin Nabi Muhammad dan kaum muslimin diam saja setelah belasan tahun dizalimi oleh suku Quraisy. Terlebih lagi kalangan musyrikin Mekah itu sudah terang-terangan berencana akan menghancurkan kekuatan Islam di Madinah. Maka tibalah masanya bagi Rasulullah dan umat Islam menunjukkan keberanian sebagai jati diri sejati.
Selain secara rutin menggelar pasukan patroli di sekitar Madinah, kaum muslimin juga tidak gentar sedikit pun untuk berkonflik senjata dengan pihak musuh. Kekayaan umat Islam sudah banyak dirampas kaum musyrikin, kehormatan mereka dikoyak-koyak oleh suku Quraisy. Sehingga bentrokan dengan pihak musuh hanyalah menanti waktu saja, mengingat agama jelas membolehkan pembelaan diri.
Moenawar Chalil dalam bukunya Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw. (2001: 1) menceritakan:
Kemudian, pada suatu hari, Nabi saw. mendapat kabar bahwa serombongan kafilah unta kaum Quraisy yang bermuatan barang dagangan dari Mekah sedang berangkat menuju negeri Syam sebagaimana biasa. Rombongan kafilah dagang itu diikuti oleh tiga puluh orang Quraisy dan dikepalai oleh seorang kepala Quraisy yang bernama Abu Sufyan bin Harb.
Banyaknya unta yang memuat barang dagangan yang dibawa oleh rombongan kafilah dagang itu berjumlah 1.000 unta dan yang dimuatnya seharga 50.000 dinar. Setelah Nabi saw. menerima kabar itu, beliau lalu berangkat keluar Madinah dengan diiringi oleh sebagian kecil sahabat-sahabatnya untuk menjaga gangguan kafilah dagang itu kepada kaum muslimin di Madinah.
Lalu-lalangnya kafilah dagang Quraisy merupakan bentuk provokasi terhadap muslimin di Madinah. Setelah menunjukkan permusuhan dengan menimpakan kekejian terhadap umat Islam, kini mereka pun dengan penuh gaya lalu-lalang menuju Syam dengan melalui Madinah dan sekitarnya. Kekuatan umat Islam Madinah seperti tidak dianggap atau malah disepelekan oleh suku Quraisy.
Abu Sufyan yang kepala kafilah dagang adalah pemimpin utama suku Quraisy. Keberhasilan dirinya melewati wilayah sekitar Madinah dengan aman sentosa hanya akan membangkitkan kesombongan suku Quraisy, yang memang sangat bernafsu menginvasi Madinah dengan kekuatan militer.
Kalaupun kafilah dagang Abu Sufyan membawa harta benda, maka jumlahnya belum sebanding dengan harta kekayaan umat Islam yang mereka rampas di Makkah, yang terpaksa ditinggalkan oleh kaum muslimin saat berhijrah.
Tujuan utama Rasulullah dan umat Islam mencegat rombongan Abu Sufyan semata-mata meninggikan kalimat tauhid, dengan cara membuktikan keberanian mereka berhadapan dengan musuh-musuh agama.
Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri dalam bukunya Ar-Rahiq al-Makhtum (2015: 244) menceritakan:
Rasulullah mengadakan persiapan bersama 310 orang lebih (313, atau 314, atau 317 prajurit). Terdiri atas 82-86 orang Muhajirin, 61 Aus, dan 170 Khazraj. Mereka tidak melakukan persiapan maksimal untuk keberangkatan mereka dan tidak membawa perbekalan lengkap.
Mereka hanya dilengkapi seekor atau dua ekor kuda, satu milik Zubair bin Awwam dan satunya milik Miqdad bin Aswad al-Kindi. Mereka juga dilengkapi tujuh puluh ekor unta, di mana dua atau tiga orang menunggangi satu unta. Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, dan Martsad bin Abi Martsad al-Ghanawi bergiliran menunggangi satu unta.
Beliau mengangkat Ibnu Ummi Maktum menjadi wakil beliau di Madinah. Ketika berada di Rauha', beliau memerintahkan Abu Lubabah bin Abdul Mundzir untuk kembali dan diperbantukan di Madinah.
Visi tajam Nabi Muhammad terlihat dari persiapan pasukan yang mencukupi, sehingga pihak kaum muslimin tidak akan jadi bulan-bulanan kafilah Abu Sufyan. Kafilah dagang Quraisy tidak murni disesaki pedagang semuanya. Mereka juga melengkapi rombongan dengan pasukan pengawal yang terlatih menghadapi berbagai marabahaya gurun pasir.
Kota Madinah pun tidaklah ditelantarkan, bagaimana pun situasinya negara membutuhkan pemimpin. Selama kepergian Nabi Muhammad, tampuk pimpinan Madinah justru diamanahkan kepada Ibnu Ummi Maktum, seorang sahabat yang tunanetra.
Tidaklah sembarangan Rasulullah memberikan amanah jabatan tinggi, kendati penglihatan matanya tidak berfungsi, akan tetapi mata hati Ibnu Ummi Maktum sangatlah tajam. Maka wajarlah keselamatan dan ketenteraman Madinah dipercayakan oleh Nabi Muhammad kepada keutamaan Ummi Maktum.
Namun, Abu Sufyan juga terkenal dengan kecerdikannya. Tokoh Quraisy itu mampu mendeteksi pergerakan pasukan muslimin, dan dengan lihai dia membawa kafilah dagang menghindar kemudian bersegera menuju Syam.
Moenawar Chalil menjelaskan, Nabi saw. memang berkeinginan bahwa jika mereka itu mengganggu keamanan kota Madinah, kafilah dagang mereka akan ditahan. Akan tetapi, pada waktu itu kafilah dagang mereka dengan diam-diam telah berjalan melalui kota Madinah. Jadi, tidak sampai bertemu dengan Nabi saw. Oleh sebab itu, kafilah dagang mereka itu ditunggu-tunggu kembalinya dari kota Syam oleh Nabi saw. dan kaum muslimin.
Sekalipun sudah lolos dari sergapan, Abu Sufyan melakukan tindakan preventif dengan menangkal kemungkinan terburuk. Tentunya pasukan muslimin akan mengintai kepulangan kafilah dagangnya. Dari itulah Abu Sufyan mengirim utusan ke Mekah, supaya kaum Quraisy menyiapkan laskar bersenjata.
Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfuri (2015: 245) mengungkapkan:
Abu Sufyan segera menyewa Dhamdham bin Amr al-Ghifari menuju Mekah untuk menemui kaum Quraisy. Dia minta bantuan pasukan untuk melindungi kafilah dagang mereka dari cegatan Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.
Singkat cerita, Dhamdham sampai di Makkah. Di tengah-tengah lembah, sambil berdiri di punggung untanya yang tersayat hidungnya, dengan bekal berantakan dan baju compang-camping, dia berteriak dengan lantang, "Saudara-saudara Quraisy, harta benda kalian yang dibawa Abu Sufyan dihadang oleh Muhammad dan sahabat-sahabatnya! Menurutku, kalian harus menyusulnya! Tolong! Tolong!”
Seketika itu, semua orang bersiap-siap. Mereka menggerutu, “Apakah Muhammad dan sahabat-sahabatnya mengira bisa menjadi seperti kafilah dagang Ibnu Hadhrami? Tidak mungkin! Sungguh, mereka akan menemui kenyataan sebaliknya!”
Keberanian Rasulullah sangatlah mengejutkan bagi musyrikin Quraisy, tak menyangka sedemikian kuatnya mental Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Kini mereka mampu melakukan perlawanan terhadap berbagai kezaliman yang pernah dialami. Dan yang mengecutkan hati kaum Quraisy, keberanian umat Islam mengancam urat nadi perekonomian Makkah. Di tengah kepungan padang pasir gersang, perdagangan adalah harapan suku Quraisy untuk bertahan hidup.
KOMENTAR ANDA