GADIS itu mengungkapkan pada ibunda niat hati hendak mewarnai rambut. Sang ibu malah kebingungan, karena putri tercinta mengenakan jilbab, jadi buat apa mewarnai rambutnya? Selain itu, sang ibu justru ingin mewarnai rambutnya yang ubanan. Anehnya, anak perempuan satu-satunya justru mewarnai pirang rambut indahnya yang hitam legam.
Singkat cerita, muslimah muda itu tetap mewarnai rambut, atas alasan kenyamanan diri sendiri, dan tetap mengenakan jilbab. Jadi, mewarnai rambut bukan untuk pamer, melainkan pilihan untuk kebutuhan hatinya semata.
Lantas bagaimana hukumnya mewarnai rambut?
Banyak riwayat menarik perihal mewarnai rambut, yang boleh saja lagi tren di masa sekarang, tetapi di masa Rasulullah juga pernah menjadi pilihan. Dengan menghimpun riwayat-riwayat tersebut diharapkan kita punya perspektif yang utuh sebelum menemukan suatu kesimpulan hukum.
Syaikh Ahmad Jad dalam buku Fikih Sunnah Wanita (2010: 380) menjelaskan:
Ada seorang perempuan bertanya kepadanya tentang semir rambut, maka Aisyah menjawab, “Semir rambut tidak apa-apa, namun aku membencinya, karena kekasihku Rasulullah tidak menyukai baunya.”
Abu Dawud berkata, “Yang dimaksudkan adalah pewarna rambut kepala.”
Diriwayatkan dari Mu’adzah bahwasanya ada seorang perempuan bertanya kepada Aisyah, ia berkata, “Apakah seorang perempuan haid boleh mewarnai rambutnya?”
Aisyah menjawab, “Kami bersama Nabi sedangkan kami sedang mewarnai, namun Nabi tidak melarangnya.”
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Para perempuan kita mewarnai pada waktu malam. Ketika Subuh, mereka membukanya kemudian berwudu, shalat, kemudian memakai pewarna setelah shalat. Ketika datang waktu Zuhur, maka mereka membukanya, berwudu, shalat, kemudian memperbaiki pewarnaannya. Hal tersebut tidak mencegah untuk melakukan shalat.”
Dari rangkaian riwayat di atas, mudah ditebak bahwasanya hukum mewarnai rambut adalah mubah atau boleh. Ada keindahan pada rambut yang diwarnai, selain itu diperoleh pula kepuasan batin sehingga menambah rasa percaya diri. Ini perkara selera pribadi, jadi silakan bagi yang ingin mewarnai rambutnya.
Kendati diterangkan bahwa hukumnya boleh, bukan berarti mewarnai rambut dapat dilakukan sebebas-bebasnya. Dari itulah kita perlu mendalami penjelasan lebih lanjut terkait mewarnai rambut dengan menelaah fatwa yang berlaku.
Fatwa MUI tentang mewarnai rambut
Pada laman resmi mui.or.id tercantum Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 23 Tahun 2012 tentang menyemir rambut:
1. Hukum menyemir rambut adalah mubah, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. menggunakan bahan yang halal dan suci;
b. dimaksudkan untuk suatu tujuan yang benar secara syar'i;
c. mendatangkan maslahat yang tidak bertentangan dengan syariat;
d. materinya tidak menghalangi meresapnya air ke rambut pada saat bersuci;
e. tidak membawa mudarat bagi penggunanya; dan
f. menghindari pemilihan warna hitam atau warna lain yang bisa melahirkan unsur tipu daya (khida') dan/atau dampak negatif lainnya.
2. Hukum menyemir rambut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana ketentuan di atas hukumnya haram.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 23 Tahun 2012 mengenai hukum menyemir rambut menegaskan bahwa tindakan ini diperbolehkan dalam Islam, asalkan memenuhi sejumlah syarat yang telah ditetapkan.
Pertama, penggunaan bahan yang halal dan suci menjadi prinsip utama. Hal ini menekankan pentingnya menggunakan bahan-bahan yang tidak melanggar ketentuan syariah.
KOMENTAR ANDA