SETIBANYA di Madinah, Nabi Muhammad tidak berleha-leha. Pasukan Quraisy memang telah undur diri dari medan perang Uhud, akan tetapi belum tentu mereka pulang langsung ke Mekah. Firasat Nabi Muhammad terbukti benar. Rupanya di kubu musuh terjadi perdebatan sengit terkait rencana menyerbu Madinah.
Pasalnya, kaum musyrikin tidak mendapatkan harta rampasan perang, mereka kecewa pulang dengan tangan hampa. Sementara itu Nabi Muhammad terlebih dulu menyadari, potensi Madinah diserbu secara langsung adalah kemungkinan yang sangat terbuka. Beliau terbukti memiliki cara pandang yang tajam.
M. Fethullah Gulen pada buku Cahaya Abadi Muhammad Saw. 2 (2013: 198-199) menerangkan:
Setelah Rasulullah kembali ke Madinah bersama pasukan muslim, beliau mendengar berita bahwa di Mekah kaum musyrik saling mengecam antara satu sama lain disebabkan perang Uhud yang berakhir tidak memuaskan bagi mereka.
Bahkan, ada di antara mereka yang berkata, “Kalian tidak melakukan apa-apa. Kalian hanya sedikit menyentuh mereka, tapi kemudian kalian lari begitu saja tanpa pernah berhasil menumpas mereka. Saat ini mereka masih memiliki begitu banyak orang yang berkumpul untuk menyerang kalian.”
Tanpa buang-buang waktu, Ahad pagi, tanggal 7 Syawal, Rasulullah kembali menyerukan kaum muslimin berangkat menghadapi pihak Quraisy. Kaum muslimin yang masih sangat lelah dari perang Uhud menyambut, “Kami mendengar dan kami patuh.”
Pantang hanya menunggu di kandang sendiri, maka Nabi mengajak pasukannya mengejar musuh. Setibanya di Hamra’ al-Asad, kira-kira 6 mil dari Madinah, beliau memerintahkan pendirian kemah-kemah.
Beliau berjumpa dengan Ma’bad bin Abu Ma’bad yang berasal dari Bani Khuza’ah. Secara diam-diam Ma’bad mendukung perjuangan Nabi, bahkan memeluk agama Islam. Di samping itu, dia juga menjalin hubungan erat dengan para bangsawan Mekah.
Ma’bad bin Abu Ma’bad mengabarkan pasukan Quraisy masih bertahan di Ar-Rauha. Jaraknya diperkirakan 36 mil atau sekitar 60 km dari Madinah. Kubu musuh sedang membara disebabkan mereka kecewa tidak mendapatkan harta rampasan. Maka terjadilah pertengkaran disebabkan mayoritas pasukan Quraisy ingin menggempur Madinah.
Shafwan bin Umayyah mengingatkan bahwa memerangi Madinah secara langsung bukanlah pilihan tepat. Shafwan meyakini Nabi Muhammad bisa mengeluarkan kekuatan penuh Madinah. Perang kota hanya akan merugikan pihak Quraisy, yang dapat berakhir kehancuran.
Pendapat itu ditolak keras oleh mayoritas pasukan musyrikin. Mereka berkeinginan menghancurkan Madinah dan menjarahnya. Kaum Quraisy sangat percaya diri mampu meremukkan umat Islam di kandangnya.
Ma’bad bin Abu Ma’bad bergerak dengan sangat cerdik. Dia balik mendatangi pihak Quraisy mengabarkan bahwa pasukan Rasulullah sedang mengejar. Seketika pasukan musyrikin tersentak, sebab tidak menyangka Nabi Muhammad punya nyali demikian berani.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah pada buku Zadul Ma'ad (2008: 198-199) mengungkapkan:
Saat itu, Ma’bad bin Abi Ma’bad Al-Khuza’i datang menghadap Rasulullah untuk memeluk Islam. Setelah menyatakan diri memeluk Islam, ia mendapat tugas dari Rasulullah untuk mendatangi Abu Sufyan dengan menyembunyikan keislamannya.
“Ada kabar apa, hai Ma’bad?” tanya Abu Sufyan.
“Muhammad dan rombongannya marah kepada kamu,” jawab Ma’bad setelah berhasil menjumpainya di Ar-Rauha’.
Lanjutnya, “Mereka keluar dengan persiapan yang belum pernah dilakukannya sampai sahabatnya yang tidak ikut bersama beliau bertekad untuk ikut.”
“Jadi menurutmu saya harus bagaimana?” tanya Abu Sufyan.
Ma’bad menjawab, “Engkau diamlah dahulu sampai pasukannya tampak dari balik anak bukit ini.”
Abu Sufyan berkata, “Tetapi kami sudah siap menyerang untuk melumatkan mereka.”
Ma’bad menukas, “Saya sarankan, jangan.”
Ma’bad berhasil mengguncang mental Abu Sufyan dan pasukan musyrikin. Teriakan-teriakan yang tadinya membahana hendak menyerbu Madinah langsung sirna berganti kecemasan yang menggentarkan. Tidak ada yang menyangka Rasulullah begitu cepat mengumpulkan pasukan dan mampu bergerak seperti kilat.
Abu Sufyan dan para bangsawan Mekah mulai berhitung tentang harga diri mereka di mata suku-suku Arab. Walaupun tidak mendapatkan harta rampasan perang, setidaknya ketika pulang mereka bisa mengarang cerita kemenangan di Uhud.
Jika meladeni Nabi Muhammad dan pasukan muslimin dalam pertempuran susulan, sesungguhnya kaum Quraisy benar-benar tidak siap. Terlebih secara psikologis mereka sudah kalah duluan sebelum berperang.
KOMENTAR ANDA