NAMANYA Husnu Muslu. Lahir 28 tahun lalu di kota Malatya yang terkenal akan sejarahnya yang kaya, buah aprikot yang lezat, dan pemandangan alam yang menakjubkan. Kota ini terletak di kawasan Anatolia Timur, Turki.
Husnu Muslu selalu berpenampilan parlente. Gerak gerik dan bahasanya selalu dijaga tertata dan santun.
Saya memanggilnya Husnu Hoca. Hoca yang dalam bahasa Turki berarti “tuan” biasa digunakan untuk merujuk individu yang dipandang berpikiran luas dan figur yang menjanjikan karena kebijaksanaannya. Intinya, kata Hoca merupakan penghormatan. Dan saya kira, karena dedikasi dan kesungguhannya menata bata kehidupan di usia muda, Husnu Hoca pantas menyandang sapaan itu.
Di usia muda Husnu Hoca yang kini menetap di Istanbul tengah menggeluti bisnis pariwisata dan perjalanan antar negara.
Untuk mempertajam insting dan circle bisnis, Husnu bergabung dengan Türkiye Odalar Ve Borsalar Birliği Genç Girişimciler Kurulu atau Persatuan Kamar dan Pertukaran Komoditas Dewan Pengusaha Muda Türkiye di Istanbul.
Husnu juga mendirikan dan memimpin İstanbul Fatih Mezunlar Derneği atau Asosiasi Alumni Fatih Istanbul sebagai instrumen untuk semakin mendekatkan dirinya dengan komunitas Indonesia, khususnya mahasiswa Indonesia dan berbagai lembaga Indonesia yang menjadi partner usahanya.
Saya pertama kali bertemu Husnu Hoca awal tahun lalu, saat transit di Istanbul sekitar 21 jam dalam perjalanan dari Indonesia menuju Kuba. Sambil menunggu penerbangan ke Havana, saya keluar dari bandara dan bersama Husnu Hoca mengunjungi reruntuhan kota Troya di Canakkale, kota pelabuhan di Selat Dardanelles yang menyambungkan Laut Marmara dan Laut Aegean.
Akhir pekan lalu saya kembali transit di Istanbul. Kali ini dalam perjalanan dari Caracas, Venezuela, menuju Jakarta. Seperti biasa, untuk memanfaatkan waktu transit yang begitu panjang saya ingin keluar bandara dan mengunjungi tempat-tempat yang terjangkau.
“Apa program yang harus kami siapkan untuk Anda, Sir?” tanya Husnu Hoca via pesan WA. Saat itu saya masih di Caracas. Saya kirimkan pesan kepada Husnus Hoca, mengatakan saya akan transit di Istanbul dalam perjalanan pulang ke Jakarta.
“Saya belum pernah ke Izmit,” jawab saya.
Izmit adalah salah satu kota penting dalam sejarah negeri ini. Kota ini dibangun Nikomedes I dari Bithynia tahun 265 SM, dan karenanya diberi nama Nikomedia.
Pada masanya, Bithynia merupakan provinsi Romawi di barat laut Asia Kecil yang sekarang kita kenal sebagai Turki. Wilayah kuno ini berada di sekitar Laut Marmara, Selat Bosporus, dan Laut Hitam. Ia berbatasan dengan Mysia di baratdaya, Paphlagonia di timurlaut sepanjang pantai Pontic, dan Frigia di tenggara menuju pedalaman Asia Kecil.
Tahun 1337 Turki Usmaniah yang ketika itu dipimpin Sultan Murad I merebut Nikomedia dari Bizantium.
Di tahun 1920 Inggris mencaplok Izmit dari Turki Usmaniah yang melemah setelah kekalahan dalam Perang Dunia Pertama dan menyerahkannya kepada Yunani. Militer Turki tak bisa menerima. Mereka telah kehilangan begitu banyak wilayah. Izmit yang berada persis di ujung timur Laut Marmara yang membentuk teluk dan menjadi salah satu pintu masuk ke badan Turki di Asia tidak dapat dilepaskan begitu saja.
Maka perang pun terjadi antara Yunani yang ingin mempertahankan tanah pemberian Inggris melawan Turki yang ingin merebut kembali tanah peninggalan Usmaniah.
Yunani akhirnya menyerah dan meninggalkan Izmit. Dalam Perjanjian Lausanne atau Perjanjian Lozan yang ditandatangani tahun 1923, negara sekutu yang terdiri dari Republik Prancis, Kerajaan Inggris, Kerajaan Italia, Kekaisaran Jepang, Kerajaan Yunani dan Kerajaan Serbia mengakui kemerdekaan Turki dengan batas-batas wilayah seperti yang dikenal hari ini.
Di bulan November 1938, Mustafa Kemal Ataturk meninggal dunia. Jenazahnya dibawa dari Istana Dolmabache di tepi Selat Bosphorus dengan menggunakan kapal perang TCG Yavuz menuju Izmit, untuk selanjutnya dengan kereta api khusus dibawa ke Ankara tempat ia dimakamkan di bukit Anitkabir.
Sebagai respon atas keinginan saya berkunjung ke Izmit, Husnu Hoca menjawab, “Yes Sir, kita dapat pergi ke sana. Saya akan memberikan pelayanan khusus untuk Anda.”
Maka begitulah, saat transit di Istanbul, Husnu Hoca telah menunggu saja di pintu keluar bandara. Kami langsung menuju Izmit, melintasi Jembatan Sultan Muhammad Al Fatih atau Mehmed II di atas Selat Bosporus.
Setelah melihat Istana Kasr-i Humayun yang pernah ditempati Mustafa Kemal Ataturk saat dia berada di Izmit pada 1922 sampai 1923, kami berkunjung ke Museum Arkeologi dan Etnografi Kocaeli yang menyimpan koleksi dan artefak dari jaman-jaman yang telah lampau, baik era Paleolitik, Helenistik, Romawi, Bizantium, hingga Usmaniah. Lalu kami beristirahat di tepi Laut Marmara yang membentuk teluk, bertukar satu dua cerita.
Husnu Hoca mengundang saya makan siang di restoran atau lokantasi yang dikelolanya di Istanbul. Letaknya persis di Jalan Adnan Adivar No. 20 di distrik Fatih.
Fatih bukan kawasan kaleng-kaleng di Istanbul. Dengan luas 15 kilometer per segi, Fatih merupakan tempat bagi begitu banyak kantor pemerintah. Berbagai objek wisata terkenal di Istanbul pun berada di distrik ini, seperti Istana Topkapi, Hagia Sophia, Masjid Biru atau Masjid Sultan Ahmed, Masjid Suleymaniye, Masjid Yeni, Grand Bazaar, Spice Bazaar, juga sisa-sisa tembok Konstantinopel.
KOMENTAR ANDA