Remaja yang menangis di depan layar laptop. (Freepik)
Remaja yang menangis di depan layar laptop. (Freepik)
KOMENTAR

UNHCR mendefinisikan kekerasan berbasis gender sebagai ”kekerasan langsung pada seseorang didasarkan atas seks atau gender” termasuk tindakan yang mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental atau seksual, ancaman untuk tindakan tersebut, paksaan, dan penghapusan kemerdekaan. Definisi UNHCR tersebut terbilang lebih intensif karena sudah memasukkan ancaman ke dalam kategori tindak kekerasan.

Kekerasan berbasis gender merupakan tindakan kekerasan yang berlandaskan pada asumsi gender dan atau seksual tertentu. Saat terjadi kekerasan yang setelah ditelusuri memiliki niat melecehkan korban berdasar asumsi gender dan seksual, maka itu sudah masuk ranah kekerasan berbasis gender.

Salah satu topik terkait kekerasan berbasis gender adalah Distribusi Gambar Intim Tanpa Persetujuan atau Non-Consensual Distribution of Intimate Images. Intensitas tinggi masyarakat mengonsumsi informasi yang tersebar di media sosial, menjadi salah satu penyebab mengapa semakin banyak orang menyalahgunakan media sosial untuk aktivitas yang merugikan orang lain. Lebih spesifik, kita menyebutnya sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online.

Kita ketahui ada beberapa selebritas perempuan yang pernah menjadi korban Distribusi Gambar Intim Tanpa Persetujuan ini. Kasus mereka jelas menyita perhatian publik, terlebih jika gambar intim tersebut juga melibatkan selebritas laki-laki. Namun bukan berarti tidak ada korban dari kalangan masyarakat biasa. Meskipun tidak terangkat ke media, banyak kasus terjadi baik yang dilaporkan ke kepolisian maupun tidak.

Gambar yang disebarluaskan meliputi foto dan video. Dari kasus-kasus yang ada, mayoritas pengambil gambar adalah laki-laki. Dan foto atau video tersebut diambil saat ia dan perempuan dalam gambar tersebut berada dalam sebuah hubungan—yang biasanya tidak terikat perkawinan.

Ketika hubungan tersebut kandas, pelaku mengancam akan menyebarkan gambar intim tersebut ke dunia maya. Ada yang motifnya murni sakit hati, namun tak sedikit juga yang memiliki motif memeras korban.

Dikutip dari Hukum Online, pelaku perbuatan Non-Consensual Distribution of Intimate Images dikenakan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi:

“Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).”

Ditambah dengan penyebaran gambar intim tersebut melalui internet, maka pelaku juga dapat dijerat Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 1 angka 8 Undang Undang Nomor 19/2016 yang mengubah Pasal 45 ayat (1) UU ITE:

”Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Media, terutama para jurnalis yang menjadi ujung tombaknya, memiliki tanggung jawab secara moral maupun profesional untuk bisa menciptakan kesadaran dan kecerdasan kolektif terhadap kekerasan berbasis gender.

Untuk memperkuat kesadaran media terhadap kekerasan berbasis gender digelarlah diskusi ”Aksi dan Kolaborasi Pentahelix: Penguatan Media dan Pers dalam Pencegahan dan Respons Kekerasan Berbasis Gender” yang diinisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bersama sejumlah mitra pada 30 September 2024.

Diskusi menghadirkan narasumber yaitu Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu, Gender Program Specialist UNFPA Risya Ariyani Kori, Direktur Program dan Berita LPP TVRI Arif Adi Kuswardono, Redaktur Eksekutif Tempo Yandhrie Arvian, Ketua Bidang Media dan Networking JRKI (Jaringan Radio Komunitas Indonesia) Akhmad Rofahan, serta Social Activist sekaligus Content Creator Nabila Ishma.

Dalam diskusi tersebut, poin utama yang dibahas adalah bagaimana menciptakan pemberitaan media yang sadar utuh terhadap kekerasan berbasis gender (termasuk kekerasan berbasis gender online)

Memikul amanah sebagai agent of change, bukan lantas wartawan bisa menulis apa pun tanpa aturan. Salah satu tanggung jawab wartawan tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik pasal 5 yaitu ”Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.”

Identitas yang dimaksud adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacaknya.

Namun pada kenyataannya masih banyak jurnalis yang belum memahami perspektif gender sehingga penulisan berita tidak mampu memenuhi hak korban kekerasan. Ditambah lagi, tak sedikit pula wartawan yang tidak bisa menahan diri untuk tidak 'membocorkan' identitas korban.

Perlu diingat bahwa identitas bukan hanya soal nama, alamat, atau pekerjaan korban. Membuka jati diri pelaku juga bisa berdampak pada terbukanya identitas korban. Ini yang seringkali diabaikan penulis berita.

Dalam kasus Non-Consensual Distribution of Intimate Images, media tetap harus sekuat tenaga menjaga marwahnya dengan memenuhi hak korban. Setenar apa pun korban dan pelakunya, insan pers tidak boleh terjebak euforia untuk menyebutkan identitas, sekalipun itu berarti menanggalkan potensi cuan.

Wartawan harus memahami konsekuensi dari pemberitaan yang dibuatnya. Wartawan harus memahami alasan mengapa dia harus peduli terhadap korban. Tak lain karena memperhitungkan masa depan korban dan kehidupan keluarga korban.




Empat Musim dalam Sehari di Melbourne

Sebelumnya

Yayasan Jantung Indonesia Konsisten Dorong Gaya Hidup Sehat, Salah Satunya Lewat Olahraga Beladiri MMA

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Horizon