Remaja yang menangis di depan layar laptop. (Freepik)
Remaja yang menangis di depan layar laptop. (Freepik)
KOMENTAR

Mungkin tak banyak orang tahu, ada banyak keluarga korban kekerasan berbasis gender—terutama kekerasan seksual—yang mendapat diskriminasi dari masyarakat. Padahal anggota keluarga mereka adalah korban. Masyarakat kita masih memiliki stigma bahwa korban kekerasan seksual biasanya adalah perempuan tidak baik yang penampilan maupun perilakunya mengundang pelaku.

Untuk menghadapi stigma itu, wartawan harus memiliki nurani dan pikiran jernih dalam mengolah pemberitaan. Jauhilah pendekatan sensasional demi memenuhi kepentingan bisnis semata. Pahamilah dengan baik nilai kesetaraan dan keadilan gender agar tidak keliru memberitakan kekerasan berbasis gender.

Wartawan yang baik dan bermartabat fokus pada penanganan kasus kekerasan berbasis gender. Ia akan memberi perhatian lebih pada pengusutan kasus agar transparan dan ancaman hukum bagi pelaku, serta menyorot proses trauma healing korban. Dan semua itu bisa dilakukan tanpa melanggar hak-hak korban.

Media harus bisa mengawal kasus kekerasan berbasis gender agar hasil akhirnya dapat memenuhi rasa keadilan. Media juga harus mampu menyiarkan atau menulis berita yang menginspirasi keberanian korban untuk speak-up. Jangan sampai pemberitaan media justru membuat korban kekerasan berbasis gender ciut nyalinya untuk melapor ke kepolisian.

Menciptakan kesadaran dan kecerdasan kolektif tentang kekerasan berbasis gender masih jadi pekerjaan rumah bagi insan pers. Jadi jangan lelah untuk terus mengupayakannya. (F)




“Glancing” Picu Tren Digital Baru di Indonesia

Sebelumnya

Sambut Libur Akhir Tahun, AKG Entertainment Hadirkan Pokémon Festival 2024

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Horizon