“Misalnya, olahan fermentasi mandai di Banjarmasin. Mandai terbuat dari kulit cempedak yang difermentasi untuk menambah umur simpan. Mereka juga mempunyai suplai ikan air tawar yang melimpah, sehingga mengembangkan olahan fermentasi iwak makasam,” kata Seto, mencontohkan.
Khoirul menambahkan, masyarakat Indonesia memiliki beragam budaya makan dengan berbagai proses pemasakan makanan.
“Proses pengolahan makanan memang bisa menurunkan zat gizi, walaupun sebenarnya kita dapat menambahkan zat gizi yang hilang. Bicara soal proses fermentasi, kandungan gizi dalam makanan yang difermentasi masih bagus. Namun, ketika makanan fermentasi itu diolah lagi dengan cara digoreng, kandungan gizinya jadi berbeda. Walaupun, bahan pangannya sama.”
Ia menegaskan, processed food tidak selalu salah. Karena, memproses makanan sebenarnya merupakan bagian dari kebutuhan kita untuk memperpanjang daya simpan suatu makanan. “Yang menjadi masalah adalah kita terpapar oleh beragam processed food dengan berbagai karakter berbeda. Kita harus punya awareness yang tinggi dalam memilah makanan yang aman dan bergizi.”
Banyak orang berpendapat bahwa makanan sebaiknya dimasak sendiri. Namun, Khoirul melihat, pada kenyataannya tidak semua orang punya waktu yang cukup untuk memasak. Soalnya, memasak itu bukan hanya urusan memproses bahan makanan saja. Proses memasak dimulai dari belanja, menyimpan bahan, mempersiapkan bahan, memasak, hingga menyimpan makanan yang berlebih.
Coba tanam sendiri
Pada 2022 International Food Information Council (IFIC) mengadakan Menurut Survei Makanan dan Kesehatan terhadap Gen Z. Survei itu mengungkap, lima puluh persen Gen Z mengatakan bahwa pilihan makanan dan minuman mereka memiliki dampak yang cukup signifikan terhadap lingkungan.
Salah satu yang dikenal punya dampak baik terhadap lingkungan adalah bahan pangan organik, yang praktik pertaniannya tidak merusak lingkungan. Produk yang diklaim organik mempunyai sertifikasi dan label tersendiri. Inilah yang membuat harga suatu bahan pangan jadi melonjak. Solusinya apa?
“Kalau ingin bahan pangan yang sehat dan murah, tanam sendiri saja. Sistem yang sedang hangat dibicarakan adalah agroekologi, yang meniru sistem agroforestry. Di dalam satu kawasan hutan terdapat berbagai jenis tanaman. Dengan sendirinya ekosistem di situ akan terbangun. Contohnya, hewan apa yang seharusnya bermunculan serta tumbuhan yang ditanam untuk mencegah hama, sehingga tidak perlu menggunakan pestisida yang mengganggu ekosistem,” kata Jaqualine.
Secara sederhana, prinsip bercocok tanam ini juga bisa dipraktikkan di rumah. Seandainya Anda memiliki kebun kecil di rumah, tanamlah dengan berbagai jenis tanaman. Konsep agroekologi ini tak memerlukan halaman yang luas. “Hanya saja, ada sejumlah prinsip yang perlu diterapkan. Salah satunya tidak memakai pupuk kimia yang berpotensi merusak tanah dan menurunkan produksi hasil kebun.”
Salah satu tujuan agroekologi adalah menjaga biodiversitas. “Saat ini sebagian orang Indonesia cenderung mengonsumsi satu jenis pangan pokok, meskipun kita memiliki keberagaman sumber pangan lokal lain, khususnya konsumsi beras sebesar 13-46 kali lebih banyak dibandingkan jenis lain. Kita perlu menerapkan keragaman dalam piring kita agar biodiversitas terjaga,” pungkas Jaqualine.
KOMENTAR ANDA