TANGGUNG JAWAB sebagai orangtua dimulai sejak Allah menghadirkan jabang bayi di perut ibu. Menjaga janin bertumbuh sehat dengan asupan bergizi juga menjaga kualitas psikologis dan spiritual ibu, menjadi awal tugas sebagai orangtua. Namun, kewajiban tersebut bukan semata tanggung jawab ibu yang yang mengandung.
Suami-si calon ayah-juga sama bertanggung jawabnya untuk menciptakan suasana sehat bagi ibu dan bayi yang dikandung. Suami harus mampu menghadirkan senyum di bibir istri kala rasa mual menerpa demikian hebat. Suami harus bisa berempati dan membantu meringankan rasa pegal dan nyeri di tubuh istri kala kandungannya semakin membesar dan membuatnya sulit memejamkan mata di malam hari. Jika suami acuh, bukan tak mungkin istri merasa stres dan membuat kehamilannya berjalan tidak nyaman, hingga saat melahirkan.
Tanpa kekompakan, kehidupan rumah tangga akan terus-menerus diwarnai perdebatan. Tanpa kekompakan, keharmonisan suami istri tak akan terwujud. Tanpa kekompakan, peran sebagai orangtua begitu sulit dijalani. Tanpa kekompakan, pola asuh anak akan menjadi berantakan.
PENTINGNYA AYAH DAN IBU SEHATI
Mengapa orangtua harus sehati dalam mendidik anak-anak? Ketika sehati, maka yang keluar dari mulut ayah dan ibu akan bernilai kebaikan yang memiliki visi dan misi yang sama: anak saleh dan salehah yang menjadi qurrata a’yun (penyejuk mata, penghibur hati) di dunia dan penolong kelak untuk meraih jannah.
Sedemikian berat tanggung jawab sebagai orangtua, yang jika tidak dipikul bersama maka tanggung jawab itu akan berubah menjadi beban yang menakutkan. Bayangkan ayah yang menginginkan anak tumbuh mandiri, keras mendidik anak untuk mengerjakan segalanya sendiri sejak usia dini, sementara ibu justru memanjakan anak, menyediakan segala keperluan anak, protektif menjaga anak untuk tidak boleh keluar rumah. Dua ‘kutub’ itu tentu akan menimbulkan kebingungan dalam diri anak. Bukan tak mungkin anak akan membenci ayah karena menurutnya ayah tidak sayang padanya, lalu tumbuh menjadi pribadi lemah yang selalu membutuhkan uluran bantuan orang lain.
Karena itulah ayah dan ibu harus duduk menyatukan hati. Utarakan harapan masing-masing tentang masa depan keluarga. Lalu satukanlah harapan itu dalam harmoni yang indah. Masa depan keluarga ini haruslah memprioritaskan tentang anak. Kualitas individu seperti apa yang diinginkan ada dalam diri anak. Apakah cerdas secara akademik, kuat fisiknya, kreatif dalam seni, atau berjiwa petualang. Semua sah-sah saja mengingat tantangan zaman yang kian besar, sehingga seorang individu dituntut untuk memiliki berbagai kriteria yang kompetitif untuk bertahan hidup.
Namun satu hal yang harus dipertahankan baik-baik oleh orangtua adalah nilai-nilai agama yang dilekatkan kuat dalam benak, hati, dan perilaku anak. Tanpa agama, anak hanya akan menjadi pintar dan kepintarannya membawa mudharat. Hidupnya mungkin berlimpah kesenangan, tapi dia akan kehilangan arah. Akhirnya, anak kelak di usia dewasanya merasa hampa. Anak tidak menjadi manusia yang utuh. Ini semua karena orangtua tidak menjadikan Islam sebagai way of life dan tidak sehati dalam membesarkan anak.
MENCIPTAKAN SOSOK ANAK YANG UTUH
Siapakah anak yang utuh? Anak yang utuh adalah anak yang seluruh kecerdasannya berkembang, baik dari segi intelektualitas (Intellectual Quotient), segi emosional (Emotional Quotient), dan spiritual (Spiritual Quotient). Artinya, tiga jenis kecerdasan tadi berkembang dengan baik secara bersama-sama dan saling mendukung. Dalam perjalanannya, ketiga kecerdasan tadi dapat menumbuhkan satu kualitas pribadi yaitu kecerdasan untuk bangkit dari berbagai kesulitan yang dihadapi. Konsep ketahanan individu tersebut dikenal dengan Adversity Quotient (AQ).
Inilah alasan mengapa orangtua harus sehati dalam mendidik si buah hati. Akan sangat sulit bagi anak untuk mengembangkan berbagai kecerdasan di atas, jika ayah dan ibunya senantiasa memberi jawaban dan mencontohkan hal berbeda satu sama lain. Ayah dan ibu yang kerap berselisih paham dan bertengkar tentulah tidak akan menimbulkan kedamaian di hati anak. Ketika ayah dan ibu tidak bisa utuh melebur dalam satu sikap sebagai orangtua, bagaimana mungkin anak dapat tumbuh menjadi manusia yang utuh?
Fase-fase perkembangan yang dilalui anak sejak golden age hingga remaja tentu memerlukan kesungguhan hati, keterampilan, dan kesabaran yang kontinyu dari orangtua untuk mendidiknya. Tanpa kekompakan ayah dan ibu, pengasuhan anak dalam fase-fase tersebut akan sulit berjalan maksimal. Hasilnya pun tentu saja tidak maksimal, bahkan bukan tak mungkin membuat ayah dan ibu mengelus dada.
Mengapa anakku tidak mau shalat? Mengapa anakku tidak mau mencium tangan orangtua? Mengapa anakku menjadi pemarah? Mengapa anakku begitu mudah menangis? Mengapa anakku tidak bisa berbagi dengan teman-temannya? Mengapa anakku selalu melawan perkataanku? Mengapa anakku sulit untuk fokus belajar? Mengapa anakku sangat pemalu? Mengapa anakku selalu berteriak-teriak?
Ketika berbagai pertanyaan itu menyeruak dalam dada orangtua, tentulah ayah dan ibu merasa sedih. Mempertanyakan apa yang salah dalam pengasuhan di rumah selama ini. Jika ini yang terjadi, ayah dan ibu harus kembali menyatukan hati dan melepas ego untuk tidak saling menyalahkan. Yakinlah bahwa dengan azzam (tekad kuat) untuk menciptakan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah, maka sifat kurang baik anak bisa perlahan berubah. Semua kembali kepada apakah ayah dan ibu bisa sehati untuk menciptakan kriteria tangguh bagi anak.
Dalam Islam, anak yang utuh adalah anak yang memiliki akidah, mencintai Allah dan RasulNya, berakhlak islami, sekaligus memiliki jiwa sosial kemasyarakatan. Hatinya selalu mengingat Allah, kepribadiannya dilandasi akhlak karimah Rasul, dan kesehariannya selalu menjadi insan yang bermanfaat bagi sesama. Inilah kriteria anak idaman setiap orangtua.
LIHATLAH CARA NABI MENDIDIK
Wahai ayah dan ibu, di tengah kemerosotan akhlak manusia dan ingar-bingar teknologi dan segala marabahayanya, tidak bisa ditawar lagi bahwa pendidikan anak haruslah berkiblat pada cara Nabi Muhammad saw. bersikap. Bagaimana Rasulullah mendidik anak-anak beliau harus menjadi panduan agar tidak salah langkah.
Seperti yang disarikan dari Prophetic Parenting karya DR. Muhammad Nur Abdul Hafizh, ada tujuh hal yang dicontohkan Nabi Muhammad dalam mendidik anak. Pertama, menghadirkan suri teladan yang baik bagi anak. Kedua, mencari waktu yang tepat untuk menasihati. Ketiga, bersikap adil. Keempat, menunaikan hak anak. Kelima, membelikan mainan tanpa berlebihan. Keenam, mengajarkan anak untuk berbakti dan taat. Ketujuh, tidak suka marah dan mencela. Ketujuh sikap itu bertujuan menciptakan anak yang saleh, berakhlak santun, bahagia, kreatif, berani, dan berpikiran positif.
Orangtua juga harus selalu mendekatkan anak kepada Rasul. Dengan menceritakan berbagai kemuliaan Nabi, diharapkan anak dapat mengidolakan Nabi Muhammad dan mencontoh segala perilaku beliau. Dengan demikian, mereka diharapkan dapat memfilter masukan-masukan yang kurang sesuai dengan apa yang mereka dengar dari kisah keteladanan Muhammad.
Tujuh sikap tadi, tentu saja hanya dapat dipraktikkan oleh ayah dan ibu yang memahami pentingnya nilai-nilai Islam diterapkan dalam pendidikan anak. Karena ayah dan ibulah yang pertama harus menjadi uswah hasanah (suri teladan) bagi anak. Ayah yang pemarah tidak akan menghasilkan anak yang pengasih. Ibu yang pembohong tidak akan menghasilkan anak yang jujur. Ayah yang pelit tidak akan menghasilkan anak yang penyantun. Dan ibu yang pembangkang tidak akan menghasilkan anak yang berbakti.
Pola asuh untuk menciptakan pribadi yang utuh haruslah mencakup akal dan jiwa. Untuk menyemai akal anak, ayah dan ibu dapat menceritakan kisah-kisah teladan, mengajak anak berdiskusi, dan berbicara sesuai tahapan kematangan usia mereka. Sedangkan untuk mengembangkan jiwa anak, orangtua harus mampu menjadi teman baik bagi anak, memberikan mereka hadiah dan pujian manakala mereka berhasil, namun tetap menanamkan kedisiplinan agar hidup anak teratur dan kelak mereka menuai hasilnya di saat dewasa.
KOMENTAR ANDA