KOMENTAR

APAKAH fatwa bisa merespons perkara-perkara kontemporer yang kian kompleks?

 

“Janganlah kalian menangisi agama ini jika dipimpin oleh para ahlinya, tapi tangisilah agama ini jika dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya," ujar Syekh DR Salim Alwan, Ketua Umum Dewan Fatwa  Australia, seraya mengutip sabda Nabi Muhammad saw. ihwal pentingnya ulama yang benar-benar otoritatif, kompeten dan kredibel dalam merumuskan dan menetapkan fatwa. Hal ini ia sampaikan dalam Konferensi Internasional tentang Fatwa dan Problematika Kontemporer pada 20- 22 Juli 2018 lalu. Dalam perhelatan yang berlangsung di Hotel Santika TMII, Jakarta Timur, tersebut ia juga  menegaskan: “Kita mesti melarang orang-orang yang tidak ahli dan para ekstremis untuk tampil di atas mimbar-mimbar masjid, media massa; serta melarang mereka juga untuk memasuki masjid dan perguruan tinggi.”

 

Isu ekstrimisme agaknya salah satu poin penting yang dibahas dalam event yang digagas Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta bekerjasama dengan ADPAI (Asosiasi Dosen Pendidikan Agama Islam Indonesia) ini. Lebih dari itu, agenda ilmiah ini bermaksud membahas dan merumuskan tujuh poin penting: pertama, mengkaji perkembangan konsep dan metodologi fatwa; kedua, mengkaji pengaruh paradigma fiqih teologis terhadap fatwa; ketiga, mencari model fatwa yang memadukan antara fiqih klasik dan penemuan-penemuan sains modern; keempat, mengkaji model-model fatwa yang kompatibel dengan kebutuhan membangun kehidupan damai dan harmonis; kelima, mengkaji diskursus fatwa dan sikap keagamaan; keenam, mengkaji aspek administratif dan keorganisasisan lembaga fatwa; dan ketujuh, mengkaji pengaruh aspek-aspek politik terhadap fatwa.

 

Acara yang dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, dengan keynote speaker yang disampaikan oleh Dr. (HC) KH. Ma’ruf Amin (Ketua MUI Pusat) dan Prof. Dr. Syaikh Syauqi ’Allam (Mufti Republik Arab Mesir) ini tidak hanya dihadiri oleh ulama Tanah Air, tapi juga dari berbagai negara, plus akademisi muslim, dan perwakilan-perwakilan organisasi muslim. Antara lain:  Prof. Dr. Said Aqil Husin Al-Munawar, Dr. Abdul Aziz Abasy dari Aljazair, Abdulah Abdul Qadir Beik dari Shadra Institute, Dr. Abdul Aziz dari Sudan, Syeikh Ahmad Yakhluf dari Maroko, Dr. Muhammad Ahmad Alkhatib dari Syiria, Syeikh Rustum Nurghalif dari Rusia, Dr. Muhammad Jawad As’ady dari Iran, Dr. Syekh Ahmad Tamim, mufti Ukraina; Dr. Syekh Abdur Razaq Abdur Rahim as-Sa’dy dari Akademia Bulgaria, Rusia; Dr. Sulaiman bin Muhammad an-Najran dari Universitas al-Qashim, Arab Saudi; Prof.Dr. Ismail Kazhim al-‘Isawy dari Universitas Sharjah, Uni Emirat Arab; Dr. Rasyid bin Ali bin Abdillah al-Haritsy dari Fakultas Syariah, Oman; Prof. Dr. Moh Sa’dudin al-Kabby dari Universitas Internasional Aries, Libanon; Dr. Fuad bin Abduh Muh as-Sufy dariPusat Kajian dan Pelatihan al-Wefaq, Yaman, ; Dr. Tharek bin Nayef bin Muhammad as-Syamry dari Universitas Jauf, Arab Saudi; Dr. Muhammad Ahmad ar-Rawasydah dari Universitas Mu’tah, Yordania; Dr. Abdul Hamid Ibrahim Abu Hila dari Universitas Ibn Zahr, Maroko; Dr. Aiman Sholeh Mar’iy as-Samira’i dari Politeknik, Abudabi; Prof. Dr. Adnan Mahmud al-Assaf dari UniversitasYordan; Dr. Zawawi Abdul Wahid dari IAIN Pekalongan, Jawa Tengah; Dr. Fatwiah Noor dari STAI Darul Ulum Kandangan; Prof. Dr. Ali Abdul Wahab Muthawi dari Universitas Al-Azhar, Mesir; Prof. Dr. Muh bin Basyir al-Felfel dari Universitas Thaibah, Arab Saudi; Prof. Dr. Kamal Ladar’ dari Universitas Islam Pangeran Abdul Qader, Aljazair; Dr. Khaled Ali Bani Ahmad dari Universitas. Mu’tah, Yordania; Prof. Dr. Muh Haj Abul Qasim ad-Dulaby dari Pusat Pendekatan Agama, Iran; Dr. Muhammad Jawad Sulaimanphour dari Univ. Syiraz, Iran; Yendri Junaidi dari STIT Diniyah Putri Padang, Sumatera Barat; Prof. Dr. Syahidin dari UPI, Bandung, Jawa Barat; Dr. Kusen dari IAIN Curup, Bengkulu; Acep Zoni Saepul Mubarak dari Universitas Siliwangi, Jawa Barat;Debibik Nabilatul Fauziah dari Univeritas Singaperbangsa, Karawang, Jawa Barat; Dr. Azme Matali dari Universitas Islam Sultan Sharif Ali, Brunei Darussalam; Ayoeningsih Dyah Woelandary dari Universitas Paramadina, DKI Jakarta; Muhammad Ikhwan Mauluddin dari IAIN Langsa,Nanggroe Aceh Darussalam; Mohamad Shohibudin dari IPB, Bogor, Jawa Barat; dan Abdul Ghofur dari UNISMA, Bekasi, Jawa Barat dan masih banyak lagi.

 

6 Saran Syekh Alwan Tentang Fatwa & Isu Kekinian

Ada enam hal yang menurut Syekh DR. Salim Alwan mesti diupayakan agar sebuah fatwa benar-benar efektif dan solutif. Keenam tawaran ini, menurutnya, adalah langkah-langkah strategis para ulama pemberi fatwa  untuk merespon berbagai persoalan kontemporer yang kian beragam, kompleks dan politis. Inilah sarannya:

 

1. Melarang orang-orang yang tidak ahli dan para ekstremis untuk tampil di atas mimbar-mimbar masjid, media massa; serta melarang mereka juga untuk memasuki masjid dan perguruan tinggi.

2. Melakukan pengawasan terhadap fatwa yang menyimpang, dan menulis bantahan terhadapnya serta membekali para dai dengan dalil-dalil syar’i yang benar, yang didukung oleh Al-Qur’an dan hadis.

3. Membentengi para pemuda dengan ilmu agama, terutama ilmu akidah yang benar, yang diyakini oleh mayoritas umat, yakni akidah yang terbebas dari tasybih (keyakinan bahwa Allah sama dengan makhluk), tajsim (keyakinan bahwa Allah adalah benda) dan takfir syumuli (pengkafiran secara menyeluruh terhadap umat Islam). Alhamdulillah, mayoritas masyarakat di Indonesia meyakini akidah yang benar ini, yaitu akidah Asy’ariyyah yang moderat. Mereka berakidah dengan akidah tersebut sejak awal mula masuknya Islam ke negeri ini.

4. Mendirikan majelis-majelis fatwa secara luas di berbagai kota dan negara.

5. Adanya lembaga keislaman yang dapat dijadikan referensi dalam masalah fatwa.

6. Konferensi-konferensi yang membahas masalah fatwa.

Upaya-upaya tersebut dan juga upaya-upaya yang lain, imbuh Syekh yang kini menjabat Ketua Umum Darul Fatwa Australia, insya Allah akan memiliki pengaruh kuat dalam melindungi eksistensi pembuatan fatwa yang hendak diserobot dari para ahlinya.

 

Selain perkara di atas, pada akhir ceramahnya, Syekh Alwan juga menekankan bahwa Islam adalah agama yang adil dan moderat serta agama pembawa rahmat, karena itulah sudah seyogyanya kita semua menolak setiap bentuk ekstremisme dan kekerasan agar bisa hidup bersama dan berdampingan dengan seluruh lapisan masyarakat.

 

10 Rekomendasi Konferensi Fatwa dan Problematika Kontemporer

Konferensi Internasional tentang Fatwa dan Problematika Kontemporer yang digelar 20 -22 Juli 2018 di Hotel Santika, TMII, Jakarta Timur, telah menyepakati beberapa keputusan penting. Berdasarkan pemaparan dan pembahasan yang disampaikan para narasumber dan para ahli dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, konferensi ini merumuskan dan menetapkan 10 rekomendasi yang bisa ditindaklanjuti, yaitu:

1. Senantiasa menjalin keberlangsungan hubungan di antara lembaga-lembaga fatwa di dunia Islam dalam menghadapi berbagai isu-isu terbaru dan persoalan terkini.




Sekali Lagi tentang Nikmatnya Bersabar

Sebelumnya

Anjuran Bayi Menunda Tidur di Waktu Maghrib Hanya Mitos?

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Tadabbur