KOMENTAR

MEMBICARAKAN bakat atau talenta, tidak serta merta menjadi ‘gift’ dari Yang Maha Kuasa. Karena agar talenta itu dapat terus bertumbuh dan memberi manfaat, si pemilik bakat harus terus mengasahnya. Dan proses tersebut amat erat kaitannya dengan lingkungan terdekatnya.

Kenali Bakat Sejak Dini

Bakat, sejatinya dapat terlihat sejak dari kecil (di usia balita) meski tidak semua bisa tampak jelas. Galuh Setia Winahyu, S.Psi., M.Psi., Psikolog, kejelian orangtualah yang dapat mendeteksi manakala si anak cepat menguasai hal-hal dalam bidang tertentu. Itulah yang menunjukkan bakat si buah hati.

Bakat juga dapat dikaitkan dengan karakter anak. Contohnya, jika anak tergolong mudah beradaptasi dengan orang lain dan tidak malu bila bertemu lingkungan baru, maka kelak ia cenderung tertarik pada bidang ilmu atau profesi yang memfasilitasinya berhubungan dengan banyak orang. Ia tidak suka sesuatu yang terstruktur, teratur, tidak suka menghitung, atau bergumul dengan kertas-kertas.

Bakat anak dapat menonjol dan terbina secara maksimal jika orangtua memiliki kepekaan terhadap perkembangan anak secara komprehensif. Baik itu bersifat keilmuan maupun keterampilan. Di usia dini, orangtua dapat memperkenalkan berbagai aktivitas sebagai jalan bagi anak untuk memilah ketertarikan dan kemampuannya terhadap suatu hal.

Jika anak memang belum memperlihatkan kesukaannya terhadap suatu bidang, Galuh menyarankan orangtua dapat memberi gambaran sebanyak-banyaknya. Kenalkan anak dengan dunia musik, olahraga, seni lukis, fotografi, menulis, atau science. Dari banyak ragam aktivitas tadi, akan terjadi ‘seleksi alam’ tentang apa yang anak suka dan kuasai. Saat itulah orangtua memiliki tugas untuk mendukung anak mengasah bakatnya. Perlu diingat, dukungan yang diberikan kepada anak tidak melulu dalam memfasilitasi sarana dan prasarana, tetapi juga memfasilitasi melalui dukungan moral.

Dukungan moral menjadi satu kekuatan yang membuat anak mampu memaksimalkan talentanya. Memberi persetujuan kepada pilihan anak dan menyemangatinya. Pun bagi mereka dengan kondisi ekonomi yang tidak terlalu baik, dukungan moral orangtua dapat dilakukan dengan cara mencari sumber dana atau beasiswa tertentu yang berkaitan dengan bakat anak. Orangtua juga dituntut untuk memiliki komunikasi terbuka dengan anak, salah satunya agar bisa mengarahkan anak ke bidang lain yang lebih terjangkau. “Keterbatasan ekonomi harus dapat dikomunikasikan tanpa harus menjadi penghalang untuk anak mengembangkan talentanya,” ujar Founder Dharma Setia Consultant, Yogyakarta ini.

Bagaimana jika orangtua cenderung memilihkan satu bidang untuk ditekuni oleh anaknya? Menurut Galuh, Itu sah-sah saja selama anak enjoy dan mampu. Setelah anak sudah mantap mengikuti kemauan orangtuanya, orangtua tetap harus mendorong dan menyemangati anak untuk terus mengasah bakatnya.

Berubah Atau Berkembang?

Seiring perjalanan waktu, tak jarang seorang anak ‘berubah haluan’. Meninggalkan hobi lama lalu menekuni kegemaran yang baru. Benarkah bakat dapat berubah? “Bakat tidak berubah, tapi berkembang,” ujar Galuh.

Bagaimanapun, bakat berhubungan erat dengan minat dan dipengaruhi oleh lingkungan. Termasuk di dalamnya arus informasi tentang berbagai hal yang ia dapatkan dari orangtua, guru, terlebih lagi teman-temannya. Tentang aktivitas baru yang menarik bagi anak, ia pasti segera mencari informasi sambil menjajaki apakah ia bisa mengikuti aktivitas tersebut. Bakat anak terlihat ‘berubah haluan’ ketika aktivitas baru tersebut menjadi ketertarikan baru baginya. Dan hebatnya, ia mampu menguasai hal baru itu dengan cepat.

Bakat dapat bergeser sesuai proses perkembangan anak. Di usia dini (balita) hingga bangku Sekolah Dasar, anak masih dalam tahap eksplorasi. Bisa dibilang, akan banyak berubah keinginannya dan belum pasti minatnya. Setelah duduk di bangku SMP, berbagai kegemaran itu akan mengerucut menjadi beberapa bidang. Selanjutnya di masa SMA, akan lebih mengerucut lagi. Untuk mengikuti ekstra kurikuler sekolah misalnya, anak akan lebih fokus pada satu atau dua bidang. Barulah di bangku kuliah, ia sudah lebih mantap memfasilitasi dan mengasah talentanya.

Bakat sama halnya dengan jurusan keilmuan yang diminati anak. Sesuai teori Multiple Intelligences yang digagas Howard Gardner, ada sembilan tipe kecerdasan yang dimiliki seorang anak. Ada Mathematical-Logical, Musical, Visual-Spatial, Bodily-Kinesthetic, Intrapersonal, Interpersonal, Naturalist, Existential, dan Verbal-Linguistic. “Tapi, persentase kecerdasan itu berbeda-beda dalam setiap individu. Maka kita lihat, ada yang lebih kuat di matematika, ada yang lebih kuat di musik. Besar kekuatan itulah yang mempengaruhi pemilihan jurusan di perguruan tinggi,” ungkap ibu tiga anak ini.

Bahagia dengan Talentanya

Tentang memilih bakat, tak sedikit orangtua yang cenderung memaksakan suatu hobi atau aktivitas kepada anak. Mereka berdalih, apa yang mereka lakukan adalah “demi kebaikan anak”. Menurut istri dari Reza Warih Nasukha ini, banyak orangtua merasa mereka mengenal anak mereka dengan sangat baik. Hal tersebut boleh saja dilakukan, dengan syarat (lagi-lagi): selama anak menikmati apa yang dipilihkan orangtuanya. Di usia dini, kondisi tersebut mungkin dapat berjalan baik. Tapi, ada kemungkinan terjadi polemik saat anak menginjak usia remaja. Saat itu anak sudah punya sudut pandang sendiri dan banyak terpengaruh teman-teman sebayanya.

Ketika anak mengutarakan kejenuhan bahkan ketidaksukaannya terhadap aktivitas yang sejak kecil ia jalani berdasarkan pilihan orangtua, saat inilah dibutuhkan komunikasi terbuka antara orangtua dan anak. Orangtua tidak boleh memaksakan kehendak. “Orangtua harus memiliki pola pikir terbuka dan anak harus siap dengan argumennya,” kata Galuh.

Anak harus siap mengemukakan argumentasi yang bertanggung jawab tentang minat barunya itu. Anak juga harus mampu menjelaskan career plan yang terarah berdasar data yang telah ia pelajari. Selama alasan tersebut masuk akal dan positif, orangtua harus berlapang dada menerimanya.

Terlebih lagi, zaman sekarang jauh berbeda dengan dulu. Contohnya saja, dulu pilihan menekuni karir bermusik dianggap tidak memiliki masa depan yang cerah. Padahal, bermusik tidak hanya sebatas menjadi anak band. Ada profesi produser, komposer, atau juga manajer artis. Bahkan di zaman now, bermodal video menyanyikan lagu orang lain (cover) di YouTube channel pun bisa mendatangkan pundi-pundi yang jauh lebih besar dari pekerja kantoran.

Bagaimana jika pilihan anak itu tergolong sesuatu yang berisiko? Misalnya, anak menyukai aktivitas outdoor yang ekstrem. Orangtua sebisa mungkin mengarahkan, apa yang baik dan apa yang lebih sesuai dengan kondisi anak. Jika anak keukeuh dengan pilihannya, mulailah membuat negosiasi. Galuh mencontohkan, orangtua bisa mengatakan “boleh” dengan syarat nilai pelajaran tidak boleh menurun. Selain itu orangtua juga harus menjelaskan dengan seksama risiko besar dari aktivitas tersebut. Tekankan pada anak bahwa urusan safety benar-benar harus diperhitungkan. Dengan demikian, anak akan belajar untuk mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Melihat berbagai kondisi di atas, orangtua harus terus meng-update diri terkait informasi dan teknologi masa kini. Dengan demikian, orangtua akan terus belajar selama mengiringi masa perkembangan anaknya. Orangtua tidak boleh ketinggalan zaman dalam menemani anak mengarungi berbagai tahap kehidupannya.

Ada kalanya, orangtua terlanjur marah dan ‘meninggalkan’ anak yang memilih menekuni minat yang tidak mereka setujui. Biasanya, si anak didukung sekolah agar bisa memupuk prestasi. Orangtua akhirnya menyetujui setelah si anak berhasil meraih kesuksesan di bidang tersebut. Tentang hal itu, Galuh menyarankan adanya komunikasi terbuka antara pihak sekolah dan orangtua. Bagaimanapun juga, segala kepentingan anak memerlukan izin orangtua. Jangan sampai pihak sekolah mengabaikan orangtua meski awalnya mereka tidak menyetujui pilihan si anak.

Memahami Anak




Mengajarkan Anak Usia SD Mengelola Emosi, Ini Caranya

Sebelumnya

Jadikan Anak Cerdas Berinternet Agar Tak Mudah Tertipu Hoaks

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Parenting