KESULTANAN Ottoman (1299-1923) adalah salah satu dinasti terkuat dan terlama dalam sejarah dunia.
Kesultanan adikuasa ini memerintah kawasan Asia Minor, Timur Tengah, Eropa Timur dan Afrika Utara selama lebih dari 600 tahun.
Pemimpin Kesultanan yang disebut Sultan, memiliki otoritas agama dan politik atas rakyatnya. Osman I, seorang pemimpin suku Turkmen di Anatolia, mendirikan Kesultanan Ottoman pada tahun 1299. Istilah “Ottoman” berasal dari nama Osman atau “Uthman” dalam bahasa Arab.
Kesultanan Ottoman memperluas wilayah mereka di bawah kepemimpinan Osman I, Orhan I, Murad I dan Bayezid I. Pada tahun 1453, Mehmed II Sang Penakluk memimpin Turki Ottoman dalam menaklukkan kota Konstantinopel, ibukota Kekaisaran Bizantium, yang mengakhiri 1.000 tahun kekuasaan Bizantium.
Sultan Mehmed II kemudian mengubah nama kota menjadi Istanbul yang berarti “Kota Islam” dan menjadikannya ibukota baru Kesultanan Ottoman. Istanbul menjadi pusat perdagangan dan budaya internasional yang dominan.
Kesultanan Ottoman adalah bagian penting dari sistem negara-negara Eropa dan secara aktif memainkan peran diplomasi dalam hubungan antar negara.
Duta Besar dari Kesultanan Ottoman biasanya diangkat secara sementara dan terbatas, sebagai respon dari duta besar yang dikirim oleh negara-negara Eropa lainnya.
Ottoman tercatat telah mengirim 145 utusan diplomatik ke Venezia antara tahun 1384 dan 1600. Misi diplomasi maritim pertama dari Kesultanan Ottoman terjadi pada tahun 1416. Misi itu dikirim ke Venezia untuk menyampaikan perjanjian maritim yang ditandatangani pada 1416 antara Venezia dan Ottoman di bawah pemerintahan Sultan Mehmed I (1413-1421). Kesepakatan itu merupakan perjanjian maritim pertama yang mengatur perdagangan antara kedua negara.
Selama berabad-abad berikutnya, misi diplomatik dikirim ke berbagai negara di Eropa Barat, Balkan, Afrika Utara dan Asia Barat, banyak dari para utusan diplomatik tersebut mengumumkan kematian seorang Sultan dan kenaikan tahta Sultan berikutnya.
Selain itu mereka juga menyampaikan perjanjian kerjasama atau keputusan Sultan atas kebijakan perdagangan Ottoman. Baru pada tahun 1792, Kesultanan Ottoman mengirimkan seorang duta besar permanen pertama, Yusuf Agha Efendi, yang akan tinggal dan mewakili diplomasi Ottoman di London, Inggris.
Dari semua duta besar yang dikirimkan Kesultanan Ottoman, terdapat satu orang yang paling terkenal namanya Yirmisekiz Mehmed Celebi. Ia terpilih menjadi duta besar untuk Paris oleh Sultan Ahmed III atas permintaan dari Wazir Agung, Nevsehirli Damad Ibrahim Pasha.
Penunjukkan Mehmed Celebi mendapatkan dukungan dari duta besar Perancis waktu itu, Marquis de Bonnac. Delegasi Ottoman kemudian disambut di Toulon dengan upacara militer, tur taman dan pawai militer. Duta Besar Ottoman dan rombongannya diterima pada Maret 1721 oleh Raja Perancis Louis XV (memerintah 1715-1774).
Yirmisekiz Mehmed Celebi memberikan surat-surat kerjasama dari Sultan Ahmed III dan Wazir Ibrahim Pasha kepada Raja Louis XV. Hadiah-hadiah dipertukarkan sebagai bagian dari kebiasaan diplomatik antar negara.
Hadiah diplomatik termasuk hasil kerajinan Turki seperti sulaman tradisional, kain sutra, pakaian bulu hewan asli, perhiasan dan botol air mawar. Sebagai imbalannya, Raja Perancis menghadiahkan karpet, kain beludru, sutra, pistol, senapan berburu, cermin dan jam. Peristiwa bersejarah ini terekam dalam catatan perjalanan sang Duta Besar dalam buku “Yirmisekiz Mehmet Çelebi'nin Fransa Seyahatnamesi”.
Selain itu, Kesultanan Ottoman juga mewariskan prinsip-prinsip diplomasi yang menjadi landasan dalam kebijakan luar negerinya.
Prinsip pertama yang memandu tindakan para duta besar dan diplomat Ottoman adalah menjaga kedaulatan dan eksistensi Kesultanan Ottoman.
Enam prinsip lainnya adalah kesetaraan subyek Ottoman, keanggotaan Ottoman di Konser Eropa, mempertahankan rezim Ottoman yang sah dan oposisi terhadap pemberontakan separatisme, penegakan hukum internasional, menghormati kesucian perjanjian dan non-intervensi dalam urusan domestik Ottoman.
Tujuh prinsip yang telah disebutkan semuanya diterima secara sah oleh negara-negara Eropa lainnya.
Sistem Millet dan Landasan Toleransi Beragama
Menurut catatan tradisional, Sultan Mehmed II setelah penaklukannya atas Konstantinopel pada tahun 1453, memberikan otonomi yang luas kepada Millet Yunani, Yahudi dan Armenia yaitu komunitas keagamaan melalui pimpinan masing-masing. Gennadios Scholarios, pimpinan patriark gereja Ortodoks Yunani; Moses Capsali, seorang rabi Yahudi terkemuka; dan Joachim, seorang uskup gereja Armenia.
Dengan demikian mereka menjadi pimpinan keagamaan bagi para penganutnya di seluruh wilayah Ottoman.
Istilah millet (Turki : “agama” atau “komunitas agama”) mengacu kepada komunitas agama non-Muslim terutama Kristen dan Yahudi. Dalam Alquran, millet sering merujuk pada “millat Ibrahim” atau agama Ibrahim.
Pada masyarakat Ottoman yang heterogen, millet adalah sebuah komunitas keagamaan yang mengatur dirinya sendiri, masing-masing di bawah hukumnya sendiri dan dipimpin oleh seorang pemimpin agama yang bertanggung jawab kepada pemerintahan Ottoman.
Millet memiliki tanggung jawab untuk membayar pajak jizyah dan menjaga keamanan internal. Selain itu, setiap millet menjalankan fungsi sosial dan administrasi yang tidak disediakan oleh negara, melalui dewan komunal (meclisi milli) tanpa adanya intervensi dari pemerintah pusat.
KOMENTAR ANDA