Papan itu sudah kumuh. Tulisannya sudah kurang jelas. Tapi begitu nyata di mata saya. Bunyinya: Chinese Security Desk. Polisi Distrik Lasbela. Lihatlah fotonya.
Saya mendadak minta mobil minggir.
"Ada apa?" tanya sopir.
"Pokoknya berhenti dulu," jawab saya.
Mobil berhenti di bahu jalan. Di sisi jalan yang tidak berasal. Saya pun turun dari mobil. Lari ke belakang. Di bawah sinar matahari yang amat terik. Menyusuri pinggir jalan yang berdebu. Ke arah papan tadi. Untuk memotretnya. Tulisan di papan itu menggoda sisa-sisa kewartawanan saya.
Saya pun mencari posisi. Dari mana harus memotret papan itu. Untuk menghasilkan sudut pemotretan yang tepat. Yang ada news value-nya.
Sesuatu pun terjadi. Seorang polisi lari ke arah saya. Menghentikan kegiatan saya memotret. Saya bermasalah.
Tidak boleh meneruskan perjalanan. Paspor saya diminta. Diperiksa. Lalu dibawa ke pos polisi.
Saya kembali masuk mobil. Tidak tahan panasnya. Dan lagi saya harus ingat dokter: tidak boleh terlalu terkena terik matahari. Terkait dengan obat yang saya minum seumur hidup: obat setelah transplantasi hati itu.
Sopir saya mengikuti polisi. Menjaga paspor saya. Intinya: saya tidak boleh meneruskan perjalanan.
Saya datangi polisi di posnya.
"Saya bukan Chinese. Saya dari Indonesia," kilah saya.
Pokoknya tidak boleh.
"Bunyi papan itu Chinese Security Desk. Saya Indonesia. Saya Islam," kata saya.
Pokoknya tidak boleh.
"Saya punya visa Pakistan. Berarti saya boleh ke mana saja di wilayah Pakistan ini," kata saya.
Pokoknya tidak boleh.
"Kalau tidak boleh, mengapa pemerintah Anda memberi saya visa," bantah saya lagi.
Pokoknya tidak boleh.
"Kalau tidak boleh kan lebih baik jangan beri saya visa," kata saya lagi.
Saya pun ngambek. Tidak akan mau meninggalkan perbatasan itu. Bahkan akan bermalam di dekat pos polisi itu.
Sang polisi minta bicara pada sopir. Sopir pun menjelaskan: tidak berani mengantar saya. Ini soal keamanan.
"Kenapa perusahaan Anda tadi tidak memberi tahu saya kalau orang asing dilarang ke Gwadar?“ tegur saya pada sopir.
"Sayangnya tadi bapak turun motret-motret," jawabnya. "Ini gara-gara motret-motret itu," tambahnya.
Saya berhenti marah. Ingat pesan dokter: tidak boleh emosi.
Saya sudah terlalu banyak emosi. Tiga tahun terakhir. Untuk urusan yang sia-sia itu. Sampai pembuluh darah saya pecah setahun lalu. Saat saya di Madinah. Untuk umroh dengan seluruh keluarga.
KOMENTAR ANDA