Saya pernah ke gurun gobi di provinsi tetangga Xinjiang: Ningxia. Yang bagian besar penduduknya juga Islam. Hanya beda suku. Yang di Xinjiang suku utamanya Uygur. Yang di Ningxia Hui.
Saya jalan kaki di gurun itu. Meninjau penari langit yang ribuan jumlahnya.
Sambil jalan itulah saya mengamati.
Yang terlihat dari jauh seperti padang pasir itu ternyata bukan pasir. Ada tumbuhan kecil-kecil. Aneka tumbuhan. Tidak terlihat dari jalan raya, saking pendeknya. Juga karena tidak padat jarak tumbuhnya.
Itulah yang dimakan kambing. Atau sapi. Atau unta.
Bahkan ada satu jenis kambing: kambing semok. Yang baru sekali ini saya lihat. Nama resminya, jangan tersinggung ya, kambing pantat besar (大屁股羊).
Si kambing pasti bangga diberi nama seperti itu, ada ceritanya. Di penutup tulisan ini nanti.
Tentu tidak hanya sate yang terkenal di Xinjiang. Juga sajian kambing lainnya. Yang juga dibakar. Tepatnya dioven. Bahan bakarnya arang kayu tertentu. Aromanya sangat Xinjiang.
Irisan-irisan besar daging itu ditancapkan di 16 lokasi di sebuah anjang-anjang besi. Lalu dimasukkan tungku besar.
Begitu gurihnya.
Saya hanya sanggup makan satu onggok. Perut saya sudah telanjur penuh sate, tiga tongkat masing-masing isi lima bongkahan. Saya tidak menyebutnya lima tusuk, karena pegangannya sangat besar: ranting pohon!
Tentu tidak hanya kambing dan kambing. Roti Xinjiang juga ngangeni, bikin kangen.
Terutama yang sejenis naan itu.
Di sebuah kota kecil di tengah gurun kami mampir restoran. Hari itu kami dalam perjalanan 8 jam ke arah Xinjiang utara. Mendekati Rusia.
Begitu masuk restoran kami terpana: pemilik restoran ini cantik sekali. Cantiiiiik, dengan lima 'i'.
Berarti benar: wanita Xinjiang cantik-cantik.
Wajah wanita ini benar-benar cantiiiiiik. Berjilbab. Seperti gabungan Arab-China. Kulitnya kuning, sedikit kecokelatan. Tubuhnya tinggi. Langsing tapi berisi. Bicaranya tegas tapi ramah. Ada manjanya.
Usianya kira-kira 35 tahun.
Ada suaminya. Ikut di restoran itu.
Saya minta foto bersama. Tapi tidak berani memuat di halaman ini, khawatir tiket pesawat jurusan Xinjiang akan melonjak.
Berkali-kali saya meliriknyi.
Tapi saya bisa segera melupakannyi. Yakni ketika sajian pertama makanannyi sampai di meja: naang, bahasa setempat untuk naan.
Itulah naan terenak yang pernah saya makan. Ia lima strip lebih enak dari naan terenak selama 68 tahun terakhir.
Saya bisa kian melupakannyi setelah satenya datang. Juga mie Xinjiangnya. Yang kenyil-kenyil itu. Ampun enaknya. Mie Xinjiang ini.
Dan satu lagi, yang untuk sementara masih saya rahasiakan.
KOMENTAR ANDA