SAYA dulu tidak ingin punya wamen. Dalam hati. Tapi saya tidak punya hak untuk menentukan.
Ada wamen bisa punya potensi konflik. Meski juga bisa berbagi pekerjaan.
Tapi Bapak Presiden (waktu itu Pak SBY) memberi saya wamen. Saya tidak tahu ada rencana seperti itu.
Mungkin beliau punya pertimbangan sendiri. Misalnya karena beliau melihat saya ini bukanlah birokrat. Yang suka terobos sana terobos sini. Harus punya pendamping. Agar tidak liar.
Saya pun tidak pernah bertanya mengapa diberi wamen. Bapak Presiden juga tidak pernah menjelaskan mengapa ada wamen untuk Kementerian BUMN.
Tiba-tiba saja saya dilantik menjadi menteri bersama wamen. Sehari sebelum dilantik saya memang dipanggil ke istana. Bersama empat orang calon menteri lainnya. Tapi tidak ada informasi mengenai wamen itu.
Baru di saat pelantikan itu saya kenal wamen itu. Baru sekali itu pula bertemu orangnya: ganteng, berkulit putih, berkacamata, dan banyak senyum.
Saya pun segera tahu bahwa beliau sudah lama di BUMN. Sejak sebelum BUMN lahir, sebagai pecahan dari Kementerian Keuangan.
Beliau adalah pejabat di Kementerian Keuangan. Yang mengurus bagian usaha negara. Sejak awal karir beliau di Kementerian Keuangan. Ketika bagian itu dipisah menjadi kementerian sendiri beliau diikutkan pindah ke kementerian pecahan itu.
Saya pun segera tahu diri mengapa diberi wamen. Meski saya akan lebih senang tanpa wamen. Agar tidak perlu tenggang rasa. Yang bisa menghambat kecepatan langkah.
Saya langsung berpikir positif. Langsung menerima keadaan. Langsung move on.
Selesai pelantikan saya salami wamen saya itu. Saya ajak kenalan. Lalu saya ajak masuk mobil saya, yang parkir di halaman istana.
"Bapak di depan. Saya yang setir. Istri kita biar duduk di belakang," ujar saya.
Kami pun meninggalkan istana. Menuju gedung kementerian. Yang letaknya di seberang istana. Dipisahkan oleh taman Monas yang luas.
Di dalam mobil itulah kami bicarakan pembagian tugas. Agar tidak akan saling bertabrakan.
Saya sampaikan bahwa saya ini pengusaha. Hanya lulusan pesantren. Tidak pernah di birokrasi. Tidak tahu birokrasi. Bahkan cenderung membenci birokrasi.
"Bapak kan ahli administrasi. Seumur hidup di birokrasi. Darah daging bapak birokrasi," kata saya pada beliau.
"Maka kita bagi tugas. Bapak yang urusi kantor, administrasi dan birokrasi," tambah saya.
Saya masih menambahkan: "Saya ini tidak tahu peraturan. Tidak pernah membaca peraturan. Jadi, bapaklah yang menentukan mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh".
Akhirnya saya mengatakan: "Ibarat perusahaan, bapak ini Dirutnya. Saya Chairmannya. Saya akan lebih banyak di luar kantor. Menerjuni perusahaan-perusahaan BUMN. Bapak yang mengendalikan staf."
Beliau setuju sekali. Saya pun senang mendengar persetujuannya.
Rapat staf mingguan (harus hari Selasa, harus dimulai jam 07.00 dan tidak boleh lebih dari 2 jam) memang saya yang memimpin. Tapi semua keputusannya harus dilihat beliau: apakah ada yang melanggar peraturan.
Karena itu semua putusan harus ikut ditandatangani wamen.
Saya tidak pernah bertengkar dengan wamen. Di luar maupun di dalam selimut.
KOMENTAR ANDA