Saya pun pindah ke pilihan lain: sebagai tamu. Cukup mengisi alamat email.
Langsung connect.
Ada banyak pilihan: yang bayar 20 dolar AS, 16 dolar AS, 11 dolar AS, atau yang gratis.
Perbedaan harga itu berdasar besar kecilnya megabyte. Sedang yang gratis itu, hanya bisa untuk kirim teks.
Cukuplah.
Saya bisa kirim WA ke teman. Untuk membanggakan Garuda bahwa saya bisa kirim WA dari pesawat Garuda terbaru.
Memang ada kiriman link berita ke ponsel saya. Umumnya soal perkembangan Jiwasraya. Tapi saya tidak bisa membukanya. Kecuali harus memilih yang membayar tadi.
Maka saya coba kirim WA ke teman tadi. Yang saya anggap lebih tahu soal Jiwasraya.
"WA ini saya kirim dari pesawat Brompton yang terbang dari Surabaya ke Denpasar," tulis saya.
"Hahaha...Top," jawabnya.
Lalu ia bercerita tentang pertemuannya dengan seseorang yang tahu banyak tentang Jiwasraya.
"Alhamdulillah," kata saya dalam hati, "Tanpa saya tanya teman itu akan bercerita tentang Jiwasraya."
"Infografis di medsos itu salah total," katanya.
Memang, saya ingin bertanya itu. Apakah benar saya pernah menyetujui injeksi modal ke Jiwasraya pada 2012.
"Waktu itu memang ada usulan dari staf. Agar Jiwasraya disuntik modal. Tapi Pak Menterinya menolak usulan itu," tulisnya.
Saya sendiri yakin tidak mungkin melakukan itu. Saya anti PMN, kecuali untuk industri strategis di bawah Kemhan.
Tapi saya juga ragu jangan-jangan saya benar menyetujuinya. Saya sudah banyak lupa. Sejak tidak jadi menteri lagi saya ingin cepat move on ke dunia lama, meski kenyataannya saya justru move in.
Muncul juga perasaan bersalah. Jangan-jangan saya dulu juga tertipu oleh Direksi Jiwasraya. Kan personalnya masih yang sama.
Saya mencoba menghubungi Dirut lama itu. Yang pernah saya puji habis-habisan di pada 2012 itu. Yang saat itu mampu mencari jalan keluar yang brilian, selain injeksi modal yang saya pasti tidak setuju.
Ternyata ditemukan jalan lain. Alhamdulillah. Jiwasraya keluar dari kesulitan.
Sampai-sampai saya menyebutnya "Jiwasraya telah merdeka". Merdeka dari beban triliunan.
Kebetulan saat itu menjelang 17 Agustus. Kata "merdeka" lagi menggema di mana-mana. Tapi yang benar-benar merasakan arti merdeka adalah Jiwasraya.
Maka teman itu saya kirim WA lagi. Mumpung ada internet gratis dari pesawat Brompton.
"Apakah tidak mungkin saat itu saya pun tertipu oleh angka-angka yang dipaparkan Direksi Jiwasraya?“
KOMENTAR ANDA