Edward pun bertekad terus mengembangkan Kopi Kenangannya. Sebelum akhirnya, kelak, melantai di pasar modal.
Meski bisa mendapat banyak dana Edward tetap teguh pada garis awalnya. Yakni membuat gerai sekecil mungkin. Dengan perabotan seminimal mungkin.
Gerai itu hanya boleh 50 m2. Harga sewanya pun dipatok: hanya 5 persen dari omset.
Tujuannya: menghindarkan diri dari investasi yang terlalu mahal. Yang akan berakibat pada harga jual kopi yang tidak akan bisa murah.
Misalnya gerai yang saya kunjungi itu. Hanya menyediakan enam meja kecil. Masing-masing dengan dua kursi. Tidak ada sofa. Tidak ada wifi.
"Konsep saya memang grab and go," katanya.
Karena itu Edward membatasi investasi. "Setiap gerai hanya boleh Rp 500 juta," katanya.
Dari nilai itu yang Rp 200 juta untuk membeli mesin kopi. Harus yang terbaik. Bikinan Italia. Keperluan lainnya dibatasi Rp 300 juta.
Konsep Edward lainnya adalah: tidak mau franchise. Semua gerai ia miliki sendiri. Dengan demikian keseluruhan omset gerai menjadi omset perusahaan. "Kalau franchise kan hanya fee-nya yang bisa menjadi omset perusahaan," katanya.
Bagaimana kalau kebetulan tempat yang disewa itu lebih besar dari enam meja kecil itu?
"Sisanya saya sewakan ke orang yang mau jualan makanan," katanya.
Karena itu Edward memiliki perusahaan lain. Namanya The Common. Kalau ada tempat yang melebihi 50 m2, The Common-lah yang menyewa.
The Common lantas menyewakan yang 50 m2 ke Kopi Kenangan. Selebihnya disewakan ke pedagang makanan.
Seperti yang di Pacific Place itu. Ada kios roti di seberang mesin kopi. Semula kios roti itu saya kira bagian dari Kopi Kenangan. Ternyata itu milik orang lain yang menyewa tempat ke The Common.
Saya melihat Edward ini anak yang sangat enerjik. Waktunya habis untuk mengurus Kopi Kenangan. Itulah pacar rielnya saat ini.
"Berarti Anda ini juga punya mantan," kata saya.
"Hahaha... Iya ya... Punya kenangan juga," jawabnya.
KOMENTAR ANDA