Untuk Surabaya calon independen harus didukung minimal 138.500 warga kota yang sudah punya hak pilih.
Tidak masalah baginya. Sholeh punya jaringan untuk kumpul-kumpul KTP. Yang ia sewotkan adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surabaya.
"Tiba-tiba batas waktu pendaftaran dimajukan. Dari 5 Maret ke 23 Februari lalu," ujar Sholeh.
Ia pun kelabakan. Tapi pada batas waktu itu ia berhasil menyerahkan 190.000 lembar KTP.
Berhasil?
Tidak. Hasil akhirnya sebuah kekecewaan. KPU Surabaya mencoret pencalonannya.
Setelah diversifikasi, dari 190.000 KTP tersebut hanya 96.000 yang dianggap memenuhi syarat.
Sholeh pun gagal jadi calon wali kota. Sampai batas waktu kemarin itu hanya satu calon independen yang KTP-nya cukup. Yakni pasangan Yasin - Gunawan.
Yasin juga orang Madura. Bahkan KTP-nya masih Madura.
Itu pun belum tentu lolos. Masih akan ada verifikasi tahap-tahap selanjutnya.
Sholeh sendiri masih berusaha lolos. Caranya: menggugat KPU Surabaya. Termasuk mengapa memajukan batas waktu pendaftaran.
Menurut Sholeh, terjadi ketidakadilan perlakuan kepada calon independen. "Calon wali kota dari partai bisa menyusulkan syarat kelengkapan. Kenapa yang independen tidak," ujarnya.
Berarti Sholeh masih harus terus berjuang.
Sholeh sudah menjadi aktivis sejak masih menjadi santri pondok pesantren Tebuireng, Jombang. Tapi ia baru aktif di PRD setelah menjadi mahasiswa.
Sampai lah ia masuk penjara. Dengan tuduhan subversi dan makar.
"Begitu aktif di PRD saya dinilai komunis. Tebuireng ternyata bisa menghasilkan kader komunis," guraunya.
Ia tidak takut masuk penjara. Tapi saat di penjara itulah ayah Sholeh meninggal dunia.
Yang membuat Sholeh sedih adalah ternyata ayahnya sangat sedih. Terutama saat anaknya dimasukkan penjara. Lebih sedih lagi Sholeh tidak diizinkan pulang. Tidak boleh menghadiri pemakaman ayahnya.
Itu menandakan di kelas mana bahayanya Sholeh dari kacamata Orde Baru.
Kini Sholeh sudah berumur 42 tahun. Ia tetap percaya pada demokrasi, meski kenyataannya harus serba uang seperti sekarang.
Sebagai pengacara, banyak perkara yang ditanganinya. Tapi yang sangat terkenal adalah perkara, Anda sudah tahu-- Kanjeng Dimas. Yakni orang Probolinggo yang mengaku bisa menggandakan uang itu.
Yang saya tidak tahu: Sholeh ternyata pernah menguji Kanjeng Dimas di Rutan Medaeng. "Waktu itu kalau Kanjeng Dimas tidak mau saya tes saya tidak mau jadi pengacaranya," ujar Sholeh dua hari lalu.
Kebetulan Kanjeng Dimas sendiri yang meminta Sholeh jadi pengacaranya. "Beliau ingin mencari pengacara yang pemberani," ujar Sholeh mengutip ucapan klien ya saat itu.
Hasil pengetesannya positif: Kanjeng Dimas bisa mengeluarkan uang dari belakang pinggangnya. Padahal kursi yang diduduki Kanjeng Dinas itu disiapkan oleh Sholeh. Kanjeng Dimas juga hanya mengenakan baju batik lengan panjang , tidak mengenakan jubah.
Setelah duduk di kursi tersebut Kanjeng Dimas menempatkan kedua tangannya di belakang pinggangnya. Tidak sampai lima menit kemudian salah satu tangannya seperti menarik barang dari belakang pinggangnya itu. Barang itu ia lemparkan ke lantai. Bentuknya uang segenggam. Dolar Singapura. Pecahan 1.000 dolar.
KOMENTAR ANDA