Menurut Hafidz semua orang di satu wilayah yang sudah ditentukan harus diambil mukus mereka. Sekali ambil untuk dua sampel.
Mengambil mukus sekaligus untuk dua sampel hampir tidak menambah kesibukan. Maupun biaya.
Maka ambillah tiap orang dua sampel mukus. Jangan hanya satu sampel.
Bagilah satu pulau atau satu kabupaten ke dalam wilayah-wilayah terkecil. Baiknya, wilayah kecil itu adalah satu RT.
Maka tiap RT di satu kabupaten menjadi satu pool terkecil. Mukus semua warga RT itu diambil bersama-sama --mungkin perlu waktu tiga jam.
Untuk satu RT - -katakanlah 150 orang-- hanya diperlukan VTM satu unit. Mukus orang satu RT dimasukkan ke satu VTM saja.
Berikutnya VTM yang sudah tercampur mukus orang satu RT itu dimasukkan reagen.
Kalau hasilnya positif, barulah satu RT itu di-lockdown. Atau di PSBB.
Kalau hasilnya negatif berarti satu RT itu negatif semua. Merdeka!
Tapi jangan bebas dulu. Tunggu hasil RT sebelah. Dan sebelahnya lagi. Dan sebelahnya lagi.
Dalam tiga hari satu kabupaten sudah bisa diketahui hasilnya.
Berarti satu kabupaten itu telah merdeka.
Bagaimana kalau di satu RT hasilnya positif?
Itulah gunanya mengambil mukus dua sampel. Kan sampel mukus kedua masih ada. Maka khusus untuk RT-Positif lakukanlah proses berikut: sampel mukus individual tadi dimasukkan VTM individual. Lalu dimasukkan reagen individual.
Maka ketahuanlah siapa di RT-Positif tersebut yang ternyata positif.
Dengan demikian tidak lagi harus satu RT di-lockdown. Cukuplah warga yang positif itu saja.
Jelaslah: kabupaten itu tidak perlu lockdown. Demikian juga kabupaten sebelah. Pun kabupaten sebelah lagi. Se-Jawa.
Bagi pulau seperti Bali atau Lombok atau yang setara itu lebih mudah lagi.
Itulah yang disebut pool-test system.
Saya sudah minta maaf ke Hafidz. Kok baru tadi malam meneleponnya. Padahal ia sudah menghubungi saya 16 jam sebelumnya.
Waktu pertama ide ini disampaikan, saya berterus terang: perlu waktu untuk memahaminya. Saya bukan ahli matematika --rapor pelajaran berhitung saya selalu merah. Saya tidak paham algoritma. Saya agak pusing memahami rumus-rumus simulasi yang ia kirim lewat WA.
Tapi sejak 16 jam itu saya sudah bisa memahami roh persoalannya: ini penting sekali. Ini mendasar sekali.
Tinggal memutuskan: mau atau tidak mau.
Hafidz, anak Jakarta (SD Johar Baru, SMAN 8) ini memang istemewa. Ia bersama temannya --alumni Informatika ITB-- mendirikan satu perusahaan: membuat program komputerisasi penilaian ujian sekolah.
Saat ia membuat itu baru ada satu program sejenis di Indonesia --milik dosennya. Dan ia membuat yang beda, yang lebih sempurna --meski ia tidak mau mengatakan itu.
KOMENTAR ANDA