Masih banyak lagi sepak terjangnya. Dua tahun lalu ia mendirikan sekolah dasar (SD) Galenia di Jalan Dago --tidak jauh dari ITB.
Keistimewaan SD itu: mata pelajarannya hanya tiga.
"Hanya tiga mata pelajaran?" tanya saya takut salah dengar.
"Iya. Hanya tiga," jawab Hafidz.
"Apa saja itu?"
“Bahasa Inggris, matematika dan Bahasa Indonesia," jawabnya.
Ia merasa saya heran atas mata pelajaran nomor tiga itu. Maka Hafidz buru-buru menjelaskan: pelajaran Bahasa Indonesia perlu agar lulusannya nanti pandai berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan.
Oh... Rupanya Hafidz sadar. Utamanya karena ia sendiri orang teknik --elektro pula: orang teknik lemah dalam sastra.
Sebenarnya ada satu mata pelajaran lagi. Tapi ia tidak menyebutnya pelajaran: renang.
"Itu pelajaran olahraga," kata saya.
"Bukan," jawabnya, "Itu sarana untuk membuat lebih percaya diri".
Orang yang tidak bisa berenang, katanya, kurang percaya diri. Apalagi kalau sudah harus menyeberang laut. Dan lagi "pelajaran" renang itu hanya tiga bulan. Setelah bisa renang ya sudah.
Ups... Ada pelajaran lain lagi: menghafal Alquran. Tapi ia tidak mau menyebutkan itu mata pelajaran. Itu ibadah.
"Anda sendiri hafal Alquran?" tanya saya.
"Belum. Masih dalam proses," katanya merendah.
Dalam hal pool-test Covid-19 tadi Hafidz sebenarnya menyampaikan kepada saya hitung-hitungannya secara rinci.
Saya pikir menarik juga untuk disampaikan di bagian bawah DI's Way hari ini. Tapi ketika tulisan sampai di sini saya berpikir ulang: untuk apa ya ditulis di sini? Bukankah belum tentu ide ini bisa diterima? Wong, Hafidz sudah ke mana-mana pun belum mendapat respon menggembirakan?
Melaksanakan ide Hafidz ini memang sulit. Tapi ada yang lebih sulit lagi: melahirkan kemauan itu.
KOMENTAR ANDA