Ilustrasi/ Net
Ilustrasi/ Net
KOMENTAR

SEOLAH sudah menjadi kesepakatan umum bahwa orang dewasa harus mampu memahami gejolak emosi remaja dan bertoleransi dengan kekeliruan yang mereka buat. Namun tahukah kita bahwa Islam tidak menyetujui hal tersebut?

Remaja, ketika dia sudah baligh, maka sudah menanggung dosanya sendiri. Artinya, seseorang yang meninggal di usia remaja, maka dia akan dihisab, ditimbang amal dan dosanya, lalu ditempatkan di surga atau neraka sesuai hasil timbangan amalnya.

Jika di alam kubur nanti dia tak bisa menjawab pertanyaan Munkar dan Nakir tentang tuhan, nabi, kitab, dan amal salehnya, tak akan ada kalimat menyejukkan seperti: “oke, tidak apa-apa, kamu masih remaja.”

Jika ternyata maksiat yang dia kerjakan lebih banyak dari kebaikan, maka tidak ada keistimewaan yang menjauhkannya dari neraka dengan alasan “dimaklumkan karena remaja masih dalam proses pencarian jati diri” atau “dimaklumkan karena emosi remaja masih galau”.

Teen vs Syabab

Ustaz Bendri Jaisyurrahman—konselor ketahanan keluarga, aktivis parenting, sekaligus pendiri Komunitas Sahabat Ayah—menekankankan pentingnya para orangtua mendidik remaja sesuai fitrahnya dalam Islam. Menurut Ustaz Bendri, kenalakan remaja bukanlah bagian dari pembentukan karakter.

Merujuk pada Dr. Khalid Ahmad Asy Syantut, seorang pakar pendidikan dari Universitas King Abdul Aziz, Jeddah yang namanya diakui di Timur Tengah dan Eropa, istilah remaja yang dipahami para orangtua masa kini cenderung mengadopsi cara pandang barat.

Mereka kesulitan mencari definisi seorang yang berpola pikir kanak-kanak namun ‘terperangkap’ dalam tubuh layaknya orang dewasa karena itulah disebut teen (usia belasan tahun). Pemahaman tentang teen ini kemudian menyebar ke seluruh dunia.

Dr. Khalid menolak istilah teen yang jika diterjemahkan ke bahasa arab menjadi murahiq (rahaqa: berbuat dosa dan salah). Alasannya, jika kita mengadopsi kata remaja khas barat tadi, maka kita seolah memaklumi bahwa mereka diperbolehkan berbuat maksiat dan dosa karena berhubungan dengan perubahan hormon dan labilnya emosi.

Padahal, apa yang terjadi pada remaja barat, sejatinya adalah buah dari gagalnya orangtua dalam pengasuhan anak.

Remaja versi Islam

Marilah melihat ke belahan dunia lain. Di Palestina, misalnya. Anak-anak usia belasan tahun sudah memiliki kebanggaan terhadap Islam hingga tidak takut membela Tanah Air mereka dari serbuan tentara Israel.

Atau jika kita mau mundur ke masa lampau, ke zaman Rasulullah saw., anak-anak belasan tahun itu sudah memiliki aqidah dan keislaman yang teguh. Ada Ali bin Abi Thalib yang membela Islam di usia 10 tahun, Abdullah bin Abbas yang memahami tafsir dan fiqh di usia 14 tahun, juga Usamah bin Zaid yang menjadi panglima perang di usia 17 tahun.

Dr; Khalid mengajak kita melihat remaja sebagai pemuda, yang dalam bahasa arab disebut syabab. Kata syabab bermakna potensi, kekuatan, juga keindahan. Kata “syababa” bisa diartikan sebagai jilatan api, yang dapat bermanfaat untuk membakar ikan dan ayam untuk dimakan, tapi juga bisa membakar rumah jika tidak dikendalikan.

Menurut Dr. Khalid, jika orangtua selalu memaklumi kebandelan remaja, maka akan terjadi kontradiksi. Kita ingin anak-anak menjadi salih dan salihah, tapi tidak melarang mereka untuk mencoba hal-hal negatif.

Selama ini, demi menjadi orangtua yang demokrat, kita beranggapan bahwa melarang anak dengan keras justru akan membuat mereka semakin keras mencari tahu di belakang kita. Atau kita berargumen, biarlah mereka mencoba untuk tahu bahwa apa yang dilakukannya tidak benar.

Yang kita harus waspadai, anak-anak sekarang jauh lebih pintar dari kita—orangtua. Jika kita melarang anak bermain game dengan mengganti password wifi di rumah, anak bisa mengunduh aplikasi untuk bisa memecahkannya.

Atau ketika kita mem-block tayangan berbau pornografi, anak dengan mudah dapat mencari cara untuk menerobosnya. Belum lagi urusan persahabatan khas anak muda yang kerap mengagungkan “solidaritas” tak terkecuali untuk melakukan berbagai kenakalan.

Jadi memang benar, kita tidak bisa menjadi seorang diktator yang selalu melarang dan menghukum anak. Tapi bukan berarti kita bertoleransi dengan kenakalan-kenakalan yang mereka perbuat sebagai dalih pembentukan karakter.

Siapa bisa menjamin bahwa anak tidak akan terjerumus pada kemaksiatan yang berawal dari coba-coba? Sudah banyak kasus bahwa kenakalan remaja yang berawal dari sekadar coba-coba menjelma menjadi kebiasaan hingga dewasa. Hal itu terjadi karena orangtua permisif dengan menganggap wajar kenakalan anak.

Sahabat Yang Mendukung Potensi

Pengasuhan dalam Islam tidak kalah dari parenting method yang dikembangkan di barat. Mulailah dengan memahami remaja sebagai gudang potensi. Menurut Ustaz Bendri, ada tiga potensi yang dimiliki remaja yaitu quwwatul aqliyah (kekuatan akal pikiran), quwwatul hamasah (kekuatan semangat), dan quwwatul jismi (kekuatan fisik).

Bagaimana potensi anak bisa berkembang tanpa menghasilkan kenakalan?

Pertama, Islam mengajarkan kepada orangtua untuk menjadi sahabat terbaik bagi anak-anak terlebih lagi di saat mereka berusia belasan tahun. Keberhasilan orangtua adalah ketika remaja tidak memiliki rahasia dari kita, dan kegagalan orangtua adalah ketika anak berani berkata “that’s my privacy” atau “mind your own business” kepada kita.




Mengajarkan Anak Usia SD Mengelola Emosi, Ini Caranya

Sebelumnya

Jadikan Anak Cerdas Berinternet Agar Tak Mudah Tertipu Hoaks

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Parenting