Berilah anak kesempatan untuk menyuarakan isi pikiran dan isi hatinya. Berikan ruang kepada anak untuk menyuarakan pendapatnya, agar mereka memiliki kesempatan untuk berpikir tentang kebaikan. Jika ada yang dirasa kurang tepat, kita bisa membicarakannya dari hati ke hati.
Lihatlah bagaimana Nabi Ibrahim berdiskusi dengan Ismail ketika turun perintah Allah untuk menyembelihnya. Ibrahim bertanya “bagaimana pendapatmu” kepada putranya tercinta. Dia ingin mengetahui apa yang berkecamuk di benak Ismail.
Atau di saat Perang Khandaq, Rasul memberi kesempatan kepada Salman Al Farisi, pemuda asal Persia untuk mengemukakan idenya tentang parit. Ternyata ide tersebut membawa kemenangan bagi umat Islam.
Kedua, bimbinglah anak untuk menjadi manusia teguh yang sanggup mengatakan “tidak”. Karena itulah orangtua harus mengajarkan Tauhid kepada anak sedini mungkin. Kalimat Tauhid adalah Laa ilaaha illallahi, yang bermakna tidak ada tuhan selain Allah. Kata “tidak” di awal kalimat adalah sebuah penolakan terhadap syirik dan segala hal yang mengikutinya untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah.
Manusia yang berani mengatakan “tidak” insya Allah akan menjadi pribadi salih yang tidak mudah terpengaruh ajakan bermaksiat, sekalipun berasal dari orang-orang terdekatnya. Kemampuan berkata “tidak” merupakan fitrah ego yang harus dipupuk sejak kecil.
Jangan kita buru-buru menegur anak ketika dia mengatakan “tidak” lalu memaksanya untuk selalu berbagi, bertoleransi, dan berbaur dengan orang lain. Jika kita memaksanya untuk selalu mempedulikan pendapat orang lain maka kelak dia bisa menjadi Muslim yang rajin salat tapi tidak pantang melakukan maksiat karena merasa tidak enak menolak ajakan teman.
Wahai ayah dan bunda, mari tak lelah berikhtiar agar anak-anak kita dapat menjalani fase baligh mereka dengan berbagai kegiatan positif yang melahirkan kebahagiaan dan kebanggaan. Bismillah.
KOMENTAR ANDA