Pandemi Covid-19 yang membuat banyak perubahan pada aktivitas dan kegiatan sehari-hari, bukan tidak mungkin menyebabkan anak merasa cemas atau stres/Net
Pandemi Covid-19 yang membuat banyak perubahan pada aktivitas dan kegiatan sehari-hari, bukan tidak mungkin menyebabkan anak merasa cemas atau stres/Net
KOMENTAR

PANDEMI virus corona atau Covid-19 membuat banyak aktivitas dan kegiatan sehari-hari terganggu, termasuk kegiatan belajar-mengajar bagi anak-anak.

Bukan hal mudah bagi anak, terlebih anak usia dini, untuk menghadapi perubahan aktivitas.

Anak-anak yang biasa beraktivitas di sekolah dan di luar rumah bersama teman-teman, kini harus lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah demi terhindar dari potensi penularan virus corona.

Kondisi tersebut bukan tidak mungkin berpotensi menyebabkan anak merasa stres atau cemas.

"Kebutuhan eksplorasi anak tetap ada. Dan itu adalah kebutuhan biologis anak, bukan cuma psikologis," kata Psikiater dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ dalam webinar bertajuk "Adaptasi Kebiasaan Baru Tanpa Masalah Baru" yang digelar oleh Mamata Project, Selasa petang (28/7).

"Anak butuh untuk bereksplorasi, menyentuh, bermain, ngobrol bersama teman-teman. Itu memang kebutuhan mereka. Kita tidak bisa menafikan itu," tambahnya.

Sayangnya, realita yang ada menyebabkan hal itu tidak mudah untuk dilakukan. Apalagi sekolah, tempat anak biasa beraktivtas, juga belum dibuka.

Meski begitu, orangtua, baik ayah maupun ibu, bisa membantu anak melepaskan stres dan kecemasan yang muncul di tengah pandemi virus corona seperti saat ini.

Cara pertama yang bisa dilakukan oleh orantua, kata dr. Jiemi, adalah dengan memberi contoh bagi anak.

"Yang pasti anak belajar dari orangtua. Kalau orangtuanya stres, orangtua juga ikut cemas, maka anak akan meniru," paparnya.

"Anak itu apa yang dilihat, itu yang dilakukan," sambung dr. Jiemi.

Hal lain yang juga bisa dilakukan oleh orangtua untuk membantu anak melepaskan stres dan kecemasan mereka adalah dengan tetap memenuhi kebutuhan anak untuk eksplorasi, namun dengan cara-cara yang aman.

"Kalau misalnya bisa (bermain) di halaman atau di taman, ajak secara berkala bermain tentu dengan pengawasan protokol yang mungkin bisa dijaga, agar sama-sama aman," terangnya.

"Kebutuhan untuk eksplorasi, kebutuhan untuk bertumbuh tetap dilaksanakan. Di sisi lain, kebutuhan untuk rasa aman dan kebutuhan untuk sehat juga tetap dipenuhi," tambahnya.

Namun, bagaimana jika anak tetap merasa cemas atau stres ketika orangtua sudah berusaha memenuhi apa yang dibutuhkan oleh anak?

"Kalau kita sudah memenuhi apa yang bisa kita lakukan, kadang tetap ada hal-hal yang di luar kendali. Kadang tetap ada hal-hal yang tidak ideal. Betul. Tapi dalam situasi yang tidak ideal, tidak mungkin mendapatkan hasil ideal," jelas dr. Jiemi.

"Mari berpikir clear saja. Ini situasi sedang tidak aman. Ini memang belum sepenuhnya baik, tidak mungkin dong saya bisa happy-happy? Tidak rasional, karena situasi di luar memang membahayakan," sambungnya.

"Kalau saya bisa happy-happy, bisa tetap fun, asik (di tengah pandemi Covid-19), maka proses pikir saya yang salah," ujarnya.

Dia menjelaskan bahwa kebahagiaan bukan merupakan keadaan yang menjadi tujuan. Kebahagiaan adalah perasaan.

"(Kebahagiaan) itu levelnya sama dengan perasaan lain. kalau di luar membahayakan, maka perasaan yang wajar adalah cemas. Tapi kalau di luar aman, saya merasa cemas, maka perasaan saya bermasalah. Sama bermasalahnya dengan, kalau di luar berbahaya, saya bahagia," papar dr. Jiemi.

Dia menekankan bahwa, perasaan yang muncul jika selaras dengan realita, maka hal tersebut bukan masalah.

"Perasaan, kalau selaras dengan realita, maka sebenarnya tidak apa-apa, selama intensitasnya bisa kita jaga," tekannya.

"(Contohnya), oh di luar berbahaya, saya cemas dan takut sampai tidak berani kelur rumah. Ini intensitasnya berbahaya. Padahal kita masih bisa beradaptasi, kita masih bisa jaga jarak, kita masih bisa mematuhi protokol kesehatan," jelas dr. Jiemi lagi.

Lebih lanjut, dr. Jiemi menjelaskan bahwa di kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, merasa terlalu takut, atau bahkan dikendalikan oleh rasa takut, itu bermasalah. Tapi di sisi lain, jika tidak ada rasa takut sama sekali, itu juga bermasalah.




Mengatasi Kekhawatiran Orang Tua Saat Melepas Anak dari SD ke SMP

Sebelumnya

Mengajarkan Anak Usia SD Mengelola Emosi, Ini Caranya

Berikutnya

KOMENTAR ANDA

Baca Juga

Artikel Parenting