AKAN menyedihkan bagi penggemar sirah nabawiyah jika sampai melewatkan sosok Syaima binti Haris. Padahal dengan kemurnian hatinya, sedari kecil Syaima telah menjadi bagian penting dari kehidupan Nabi Muhammad.
Anak perempuan ini bukan hanya turut mengasuh Rasulullah yang masih kanak-kanak, tetapi di berbagai momentum, Syaima menunjukkan pembelaan dan perlindungan terhadap adik sepersusuannya ini.
Kisahnya bermula tatkala wanita-wanita dari pedesaan berdatangan menawarkan diri mereka untuk menyusui dan mengasuh bayi-bayi warga Mekkah. Ketika itu sudah merupakan tradisi di mana para ibu Mekkah memercayakan penyusuan dan pengasuhan bayi mereka kepada ibu-ibu dari pedesaan. Tujuannya, supaya bayi-bayi mereka memperoleh udara yang bersih dan lingkungan yang sehat.
Kemudian, Halimah binti Abu Zua’ib yang dipercaya sebagai ibu susuan anak dari Aminah. Maka bayi Nabi Muhammad pun dibawa menuju perkampungan Sa’ad. Keberkahan menyertai kehadiran Rasulullah. Kambing-kambing dan unta keluarga Halimah semakin gemuk dengan air susu yang berlimpah ruah. Pepohonan menjadi lebih subur, padang rumput pun tumbuh lebih hijau.
Di pedesaan yang sepi dengan udara yang segar, Nabi Muhammad tumbuh menjadi anak yang sehat dan lincah. Sejak Rasulullah masih bayi, selain Halimah, maka putrinya yang bernama Syaima ikut pula mengasuhnya.
Alangkah indahnya masa kecil Rasulullah bersama kakak sepersusuannya ini. Ahmad Khalil Jam’ah dalam buku Nisa Min Ashri An-Nubuwwah menceritakannya dengan manis:
Rasulullah suka keluar rumah dengan anak-anak Halimah, Abdullah dan Anisa, menuju lapangan penggembalaan. Kak Syaima yang mengasuh dan mengawasinya. Ia menggendong beliau, jika cuaca sangat panas dan perjalanan sangat jauh.
Terkadang Syaima membiarkan Rasulullah cilik berlarian kesana-kemari, lalu menangkapnya dengan kedua tangannya dan mendekapnya. Terkadang duduk berdua di bawah rindangnya pepohonan. Syaima berdendang untuk beliau dengan mengucapkan:
Wahai Tuhan kami, biarkan Muhammad bersama kami hingga aku melihatnya telah menjadi remaja dan beranjak dewasa.
Kemudian, aku menyaksikannya telah menjadi tuan terhormat.
Hancurkan musuh-musuhnya bersama para pendengkinya.
Berilah ia keperkasaan yang diabadikan.
Jika sedang mendendangkan qasidah yang indah ini, maka Abu Urwah Al-Uzdi mengatakan, “Alangkah indahnya, bagaimana Tuhan mengabulkan doanya.”
Betapa banyak ibu-ibu yang mendendangkan putra-putrinya. Adapun Kak Syaima yang masih muda bukan hanya merdu berdendang, tetapi bait-bait lirik itu merupakan rangkaian doa.
Alangkah tajamnya visi Syaima yang melihat jauh ke depan, bahwa adik sepersusuannya itu akan menjadi pemimpin besar dunia. Dan dalam bait-bait dendangnya, Syaima mendoakan agar Tuhan melindungi Nabi Muhammad dari musuh-musuhnya.
Siapa sangka doa yang didendangkan berupa kasidah indah itu menjadi kenyataan. Kelak takdir mempertemukan Syaima yang telah tua dengan adiknya yang telah menjadi Nabi dan penguasa dunia itu.
Pada suatu hari, Halimah lupa tentang keberadaan Rasulullah cilik. Ia pun mulai mencari dan sangat gelisah karena cuaca pada hari itu sangatlah panas. Ternyata Halimah mendapati beliau sedang bersama Syaima.
Ketika itu Syaima berdendang untuknya:
Ini adalah saudaraku yang tidak dilahirkan oleh ibuku.
Bukan pula dari keturunan ayah atau pamanku.
Ya Tuhan, jadikanlah ia berkembang dengan semestinya.
Halimah berkata, “Di panas yang seperti ini, wahai Syaima?”
Syaima menjawab, “Wahai ibuku, saudaraku tidak pernah terkena panas. Saya selalu menyaksikan awan memayunginya. Jika ia berhenti, maka awan itu pun ikut berhenti. Jika ia berjalan, maka awan pun berjalan hingga berhenti di tempat ini.”
Halimah pun heran dan bertanya, “Benarkah, wahai putriku?”
Syaima menjawab, “Demi Tuhan! Demi Tuhan!”
Betapa cerdasnya Syaima, pada usia belia mampu melihat irhas atau tanda-tanda kenabian pada sosok Rasulullah yang masih kecil. Dia menyadari adiknya itu bukanlah manusia biasa, dan Syaima memerhatikan dengan cermat betapa ada awan yang senantiasa memayungi kemana pun Rasulullah cilik berada.
KOMENTAR ANDA