Fragmen #1:
Versi suami: punya mobil itu adalah investasi menggiurkan. Apalagi saat ini harga mobil diskon besar-besaran, belum lagi kebijakan bebas pajak yang memanjakan dari pemerintah. Harga mobil betul-betul ringan (bagi yang punya duit sih).
Nanti mobil bisa disewakan atau dijadikan bisnis transportasi online. Pokoknya mobil tidak akan menjadi beban, malahan harapan bagi perubahan nasib menuju arah kejayaan.
Versi istri: tabungan pendidikan mestilah diutamakan. Karena lama kelamaan biaya pendidikan makin mahal, masuk sekolah dasar favorit saja sudah puluhan juta, apalagi yang perguruan tinggi. Satu-satunya harapan menyelamatkan masa depan anak-anak adalah mengikuti asuransi pendidikan (yang ternyata mahal juga).
Lagi pula, dilihat dari sudut manapun, pastilah semua pihak akan menyetujui pentingnya pendidikan. Mana ada orangtua yang mau anak-anaknya bodoh.
Tidak ada jalan tengah, karena kedua belah kubu sama-sama merasa benar. Bukan hanya adu kata-kata bernada tinggi, juga berlanjut dengan aksi-aksi yang memualkan.
Prang! Prang! Prang!
Dan benda-benda tidak bersalah itu pun menjadi korban.
Fragmen #2:
Versi istri: seharusnya lebih diprioritaskan membangun rumah sendiri, cicilan per bulan pun tak mengapa, rumah kecil mungil pun tidak masalah. Karena sudah malu muka lebih lima tahun masih tinggal menumpang sama orangtua. Mau ditaruh di mana muka?
Versi suami: semestinya uang dimaksimalkan untuk bisnis. Ketika dunia usaha babak belur dihajar pandemi, secara menakjubkan bisnis suami malah berkembang. Kesempatan tidak akan datang dua kali, dari itu suami yakin modal usaha lebih diprioritaskan. Bagaimana perkara menaruh muka tadi?
“Ya taruh di depanlah!” ujar suami santai.
Kali ini tidak ada piring terbang atau gelas melayang. Malu pastinya lempar-lemparan di rumah orangtua.
Akan tetapi berantemnya pakai aksi ngambek-ngambekan. Puncaknya, suami yang jago berbisnis itu kabur ke rumah orangtuanya!
Sang istri jadi serba serba salah dan serba malu. Jika dibiarkan pergi, malu muka di hadapan orangtua sendiri, berhubung suami kabur tanpa pamit. Apabila dirinya menjemput, malu muka pula dengan mertua, nanti dibilang tak becus jadi istri.
Dari dua contoh kasus di atas, maka akan terbayang betapa gampang-gampang susahnya membuat skala priorotas dalam rumah tangga. Berikut ini hal-hal yang akan membuat sulitnya menentukan skala prioritas:
Pertama, semua pihak memandang dirinya paling benar dan merupakan sumber kebenaran satu-satunya.
Kedua, pandangan yang beranggapan segala impian, harapan dan cita-cita harus terwujud sekejap mata.
Ketiga, tidak mempertimbangkan kepentingan bersama, serta kurang jujur dengan kemampuan diri dan keluarga.
Tidak melulu prioritas itu berkaitan dengan uang, contoh ringan saja, pilihan destinasi wisata keluarga. Kendaraan siap, dana tersedia, perbekalan pun telah lengkap. Akan tetapi wisata itu malah sampai batal saking sengitnya pertengkaran menentukan destinasi.
Level kedewasaan memang tidak melulu berkaitan dengan umur, melainkan tentang kecerdasan emosional. Lumayan banyak orang yang berjaya sebagai pribadi, sayang rumah tangganya berantakan. Bukan karena dirinya kurang cerdas, tidak pula disebabkan rendahnya pendidikan, melainkan menjulangnya ego masing-masing.
Sehingga dikatakan, Anda telah benar-benar siap menikah ketika Anda benar-benar siap untuk mengalah.
Dalam buku Panduan Pengelolaan Remitansi Pada Rumah Tangga Untuk Kegiatan Ekonomi Produktif disebutkan, apa itu skala prioritas? Skala prioritas adalah ukuran kebutuhan yang tersusun berdasarkan tingkat kepentingan atau urgensinya. Skala prioritas disusun mulai dari kebutuhan yang paling penting sampai kebutuhan yang dapat ditunda pemenuhannya.
Khazanah intelektual Islam mengenal fiqh prioritas, yang mana Yusuf Qaradhawi adalah yang paling bersinar dalam pembahasan ini.
KOMENTAR ANDA